kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.325.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

70% Lahan Kalsel dikuasai industri ekstraktif, Jatam dan Walhi minta evaluasi izin


Kamis, 21 Januari 2021 / 10:26 WIB
70% Lahan Kalsel dikuasai industri ekstraktif, Jatam dan Walhi minta evaluasi izin
ILUSTRASI. Kerusakan lingkungan di Kalimatan Selatan


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

Merah menambahkan, curah izin terhadap industri esktraktif menjadi akar masalah kerusakan lingkungan di Kalimantan. Dari sisi pertambangan saja, Merah memaparkan bahwa terdapat 789 izin pertambangan batubara. 

Dari izin yang digelontorkan oleh pemerintah itu, Merah mencatat bahwa 553 merupakan izin pertambangan yang non Clean n Clear (CnC), sisanya sebanyak 236 Izin Usaha Pertambangan (IUP) berstatus CnC.

"Jadi penyebab utamanya (bencana banjir) menurut kami ya alih fungsi lahan oleh perusahaan tambang," sebut Merah.

Dari seluruh wilayah yang terdampak banjir di Kalsel, Merah menggambarkan tiga daerah yang terkena dampak paling parah. Pertama Kabupaten Kota Baru yang memiliki area pertambangan sebanyak 17.564 ha. Lalu, Kabupaten Tanah Laut dengan area pertambangan seluas 19.598 ha dan Tanah Bumbu dengan luasan wilayah tambang 29.674 ha.

Baca Juga: Badan Geologi Kementerian ESDM: Ada potensi 12 rekomendasi WK Migas Indonesia timur

Lalu, terdapat lahan bekas tambang terlantar yang belum dilakukan reklamasi maupun rehabilitasi. "Terdapat 30.727 ha di tiga kabupaten yang terdampak paling parah itu," sambung Merah.

Melalui analisis citra satelit yang dilakukan Jatam, terdapat 814 lubang bekas tambang. yang tersebar di tiga kabupaten tersebut. "Lubang-lubang tambang ini berkontribusi terhadap peningkatan kawasan lahan kritis," imbuhnya.

Atas kondisi tersebut, Merah meminta pemerintah pusat maupun daerah yang telah menggelontorkan izin, bisa bertanggung jawab. Pemerintah pun diminta harus bisa tegas untuk mengusut dan menindak pelanggaran korporasi yang merusak lingkungan.

Merujuk pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, pemerintah pusat dan daerah harus melaksanakan pengawasan terhadap sumber ancaman bencana yang lahir dari kebijakan pemerintah, pembangunan maupun eksploitasi lingkungan hidup. 

"Sumber (banjir) bukan hanya dari volume air, tapi sumber ancaman kebencanaan termasuk dari penguasaan ruang oleh konsesi tambang, lubang tambang yang tak dipulihkan, lahan kritis dan deforestasi," sebut Merah.




TERBARU

[X]
×