kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.325.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

70% Lahan Kalsel dikuasai industri ekstraktif, Jatam dan Walhi minta evaluasi izin


Kamis, 21 Januari 2021 / 10:26 WIB
70% Lahan Kalsel dikuasai industri ekstraktif, Jatam dan Walhi minta evaluasi izin
ILUSTRASI. Kerusakan lingkungan di Kalimatan Selatan


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

Dia pun memberikan empat catatan terkait langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah bencana ini datang kembali. Pertama, pemerintah harus melakukan moratorium izin pertambangan baru dan industri ekstraktif lainnya, termasuk sawit dan HTI.

Kedua, Pemerintah harus melakukan evaluasi, audit, serta mencabut izin tambang dan industri ekstraktif di kawasan penting ekologi. Terutama di kawasan hutan yang sudah mengalami deforestasi, serta di kawasan hulu dan badan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Ketiga, melakukan pengusutan dan penegakan hukum terhadap korporasi tambang dan ekstraktif yang terlibat pelanggaran sehingga menimbulkan bencana. "Itu kan bisa di cek pakai peta risiko dan rawan bencana, perusahaan apa saja yang terkait dengan sumber ancaman bencana," kata Merah.

Keempat, melakukan revisi alokasi tata ruang. Termasuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), juga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). "Ini lah yang meligitimasi kehadiran mereka, sehingga 70% dikuasai industri tambang dan ekstraktif. Ini nggak benar, harus segera direvisi semua," sambung Merah.

Baca Juga: Jatam: Banjir Kalsel karena banyaknya izin tambang batubara dan sawit

Hal senada juga disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung, pihaknya juga mencatat bahwa banjir besar di Kalimantan disebabkan oleh alih fungsi kawasan hutan. Terutama untuk tambang batubara dan sawit.

"50% luas lahan sudah diambil konsesi tambang. 33% sudah diambil konsesi sawit," kata Dwi kepada Kontan.co.id, Rabu (20/1).

Dia pun khawatir perpanjangan izin tambang maupun perizinan baru yang diterbitkan pemerintah akan kian memperparah banjir pada waktu mendatang. Apalagi, belum ada langkah yang tegas dalam pembatasan produksi batubara.

Untuk itu, Walhi pun meminta ada evaluasi serta moratorium perizinan. "Evaluasi izin yang ada, hukum perusahaan yang melanggar izin, tidak memperpanjang atau memberi izin baru," sambung Dwi.

Dengan adanya Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan UU Cipta Kerja, perizinan pun beralih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam hal ini, Merah pun meminta agar kementerian maupun pemerintah untuk bersikap tegas, bukan malah terkesan mencuci tangan korporasi yang menguasai ruang dan lahan di Kalimantan.

Serupa kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19, Merah meminta agar pemerintah menerbitkan kebijakan Pembatasan Eksploitasi Berskala Besar (PEBB). "Karena tidak akan ada ekonomi yang tumbuh di atas planet yang rusak. Pemerintah harus tegas, jika tidak, harus disuntik dengan vaksin keberanian," pungkas Merah.

Selanjutnya: Begini upaya reformasi pelayanan perpajakan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×