Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti lima catatan merah dalam kinerja pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka di sektor pangan sepanjang satu tahun pertama masa jabatan.
Menjelang satu tahun pemerintahan sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, Ketua Umum YLKI Niti Emiliana mengungkapkan masih banyak persoalan mendasar dalam tata kelola pangan nasional, mulai dari keamanan pangan, harga bahan pokok, hingga kebijakan yang belum terealisasi.
Baca Juga: Presiden Prabowo Larang Kirim Karangan Bunga di Hari Ulang Tahunnya
Masalah paling mendesak, kata Niti, ialah kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Meski program ini dijalankan setiap hari, YLKI menilai pemerintah belum serius menangani kasus yang sudah terjadi dan belum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan di lapangan.
“Keracunan ini bukan sekadar statistik. Dalam ilmu epidemiologi, dua kasus saja sudah tergolong kejadian luar biasa. Kini sudah lebih dari 11.000 kasus, tapi pemerintah belum menghentikan sementara pelaksanaan program MBG,” ujarnya dalam konferensi pers Rapor Merah Sistem Pangan Indonesia, Jumat (17/10/2025).
YLKI memperingatkan, tanpa perbaikan standar keamanan pangan, program MBG berpotensi menjadi “bom waktu” karena bisa memicu kejadian serupa di daerah lain.
Selain itu, YLKI juga menyoroti pembatalan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang sebelumnya dijanjikan pemerintah akan disahkan pada semester II-2025.
Baca Juga: Satu Tahun Pemerintahan Prabowo, Capaian Pembangunan Infrastruktur Baru Fondasi
“Batalnya cukai MBDK menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat belum menjadi prioritas dalam kebijakan fiskal,” kata Niti.
Catatan berikutnya adalah kasus beras oplosan yang sempat mencuat dan dinilai mencederai hak konsumen serta menyebabkan kelangkaan beras premium di sejumlah daerah.
Kondisi tersebut turut mendorong kenaikan harga bahan pokok, di mana harga beras medium nasional saat ini masih bertahan di Rp 13.778 per kilogram, atau 2,06% di atas harga eceran tertinggi (HET).
YLKI juga menyoroti temuan kasus ayam widuran yang menyalahi standar kehalalan, sebagaimana diungkap Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada Juni lalu.
Kasus ini, kata Niti, menunjukkan lemahnya pengawasan sistem jaminan produk halal di lapangan.
“Masih banyak pemotongan hewan yang tidak dilakukan di rumah potong bersertifikat halal oleh juru sembelih halal (juleha),” ujarnya.
Baca Juga: Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ekonom: Program Andalan Minim Dampak Ekonomi
Niti menegaskan, seluruh produk makanan dan minuman wajib memiliki sertifikat halal paling lambat pada 2026.
“Jika tidak, produk tersebut harus dikategorikan sebagai barang ilegal. Ini pekerjaan besar bagi pemerintah dan BPJPH, terutama karena masih banyak pelaku UMKM yang belum tersertifikasi halal,” katanya.
YLKI menilai, berbagai temuan tersebut menegaskan pentingnya pemerintah memperkuat pengawasan, memperjelas standar keamanan pangan, dan menegakkan kebijakan yang berpihak pada kesehatan serta perlindungan konsumen.
Selanjutnya: 7 Tanda Anda Sudah di Jalur Menuju Kebebasan Finansial
Menarik Dibaca: 7 Tanda Anda Sudah di Jalur Menuju Kebebasan Finansial
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News