Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said tentang adanya pertemuan "rahasia" antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Executive Chairman Freeport McMoRan James R Moffett pada 6 Oktober 2015 telah menjadi bola liar. Bahkan, kehebohan itu menyulut wacana dari sebagian kalangan DPR untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Freeport.
Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu mewacanakan pembentukan pansus tersebut. Selain untuk mengungkap pertemuan "rahasia" itu, pansus itu pun dimaksudkan untuk menilik kaitannya dengan proses divestasi 51,2% saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Menanggapi kehebohan ini, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, menilai bahwa tidak ada urgensi bagi Komisi VII DPR RI untuk membentuk pansus tersebut. Apalagi, jika itu menitikberatkan pada pertemuan Presiden Jokowi dan Moffet.
Fahmy mengatakan, pertemuan Jokowi-Moffet yang heboh di media sebagai pertemuan "rahasia" sebenarnya pernah diungkapkan oleh Sudirman Said pada November 2015. "Namun tidak terjadi kehebohan pada saat itu," kata Fahmy yang juga mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, melalui keterangan tertulisnya kepada Kontan.co.id, Minggu (24/2).
Fahmy menilai, paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mengapa pernyataan tersebut kini menghebohkan. Pertama, momentum pernyataan Sudirman Said berdekatan dengan tahun politik Pilpres 2019.
Kedua, posisi Sudirman Said bukan lagi sebagai mantan Menteri ESDM, melainkan sebagai Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ketiga, berbeda dengan pernyataan pada November 2015, Sudirman Said kini terkesan mendramatisir pernyataannya tentang pertemuan “rahasia” Jokowi-Moffet.
Dramatisasi itu, lanjut Fahmy, tampak dari pengungkapan Sudirman Said yang lebih mengedepankan adanya pertemuan “rahasia” Jokowi-Moffet ketimbang substansi pertemuan.
Kalau pun Sudirman Said mengungkapkan substansi pertemuan, Fahmy menilai itu diungkapkan tidak secara utuh, sehingga menimbulkan multi tafsir. Alhasil, tak bisa dihindarkan dramatisasi itu menimbulkan kehebohan.
"Padahal, substansi pertemuan itu, yang sudah pernah diungkapkan sebelumnya, sesungguhnya biasa-biasa saja, tidak ada hal yang baru" ujar Fahmy.
Kendati Sudirman Said tidak mengatakan sebagai pertemuan “rahasia” Jokowi-Moffet, namun Sudirman mengatakan pertemuan secara diam-diam antara Jokowi dan bos Freeport itu menjadi cikal bakal keluarnya surat tertanggal 7 Oktober 2015 dengan nomor 7522/13/MEM/2015.
"Isi surat itu sebenarnya sangat normatif, yang berisi rencana perpanjangan operasi Freeport di Indonesia, sejauh Undang-undang Indonesia memungkinkan perpanjangan itu," sambung Fahmy.
Pada saat itu, Moffet membutuhkan semacam surat jaminan izin ekspor konsentrat dan perpanjangan operasi Freeport. Surat itu dibutuhkan oleh Moffet untuk mendongkrak harga saham Freeport McMoren (FCX), induk PTFI, di Bursa Wall Street New York, yang lagi terpuruk pada titik nadir.
Fahmy mengungkapkan, pada awal tahun 2013, harga saham FCX masih bertengger sekitar US$ 62 per saham. Pada perdagangan awal Oktober 2015, harga saham FCX terpuruk menjadi sekitar US$ 8,3 per saham, sempat semakin terpuruk lagi menyentuh sekitar US$ 3,96 per saham.
Salah satu sentimen penyebab penurunan harga saham FCX itu adalah tidak adanya kepastian izin ekspor konsentrat dan perpanjangan KK Freeport dari pemerintah Indonesia.
Pada saat itu, Presiden Jokowi mengatakan bahwa perundingan perpanjangan Kontrak Karya (KK) PTFI baru akan dilakukan pada 2019, atau 2 tahun sebelum KK berakhir, seperti yang diatur oleh Undang-undang.
Sehingga, pernyataan Sudirman Said secara tersirat mengatakan substansi pembicaraan Jokowi-Moffet hanya sebatas pada permintaan semacam surat jaminan izin ekspor konsentrat dan perpanjangan operasi Freeport. Hal itu dibutuhkan untuk kembali menaikkan harga saham FCX.
"Tidak ada pembahasan terkait pembelian saham Freeport, seperti yang heboh di media masa baru-baru ini. Hanya, surat, yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said dengan seizin Jokowi, berdampak menurunkan bargaining position Tim Perunding Divestasi 51,2% Saham Freeport," kata Fahmy.
Alhasil, Fahmy menganggap setelah Pemerintah Indonesia berhasil melakukan divestasi 51,2% saham PT FI, setelah 51 tahun hanya menguasai 9,36% sahamnya, apa pun substansi pembicaraan Jokowi-Moffet dan surat Sudirman Said sudah tidak relevan lagi.
Jadi, kendati usulan pembentukan Pansus merupakan hak konstitusional yang melekat pada anggota DPR RI, namun dalam hal ini Fahmy menilai hal tersebut tidak relevan.
"Sehingga hanya wasting time alias buang-buang waktu saja. Akan lebih bermanfaat dan produktif untuk merampungkan Perubahan UU Migas, yang sudah delapan tahun belum juga selesai," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News