Reporter: Asep Munazat Zatnika, Fahriyadi, Noverius Laoli | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Perbedaan hasil hitung cepat atau quick count dalam pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) yang terjadi antarlembaga survei menimbulkan kekhawatiran. Apalagi, jika perbedaan itu digunakan dasar bagi masing-masing calon untuk mengklaim kemenangan.
Ini pula yang memaksa Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), turun tangan dan menelusuri perbedaan hasil hitung cepat ini dan memastikan salah satunya telah melakukan kekeliruan. Rencananya, Persepi akan melakukan audit atas pelaksanaan survei yang dilakukan anggotanya.
Dari 12 lembaga survei yang merilis hasil hitung cepat, tujuh lembaga survei berada dibawah naungan Persepi, yaitu Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia, Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Cyrus Network, Populi Center , Jaringan Survei Indonesia (JSI) dan Puskaptis.
Dari ketujuh lembaga survei ini, JSI dan Puskaptis menampilkan hasil hitung cepat yang berbeda dengan lima lembaga lainnya karena memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ketua Dewan Etik Persepi, Hamdi Muluk bilang dalam beberapa hari ke depan, Persepi akan menguji metodologi semua lembaga survei dalam melakukan hitung cepat. "Kami memiliki standar metodologi umum yang harus dipenuhi setiap lembaga survei dalam melakukan hitung cepat," ujar Hamdi kepada KONTAN, Rabu (9/7) lalu.
Tiap lembaga survei harus melakukan metodologi seperti penentuan sample harus mewakili karakter suara di daerah tersebut. Biasanya, penentuan sample menggunakan metode acak atau random sampling.
Setelah hal ini dipenuhi, baru ditetapkan sebaran data yang ingin diambil. Daerah mana saja yang dijadikan sample, yakni Tempat Pemungutan Suara (TPS). "Lembaga survei harus menarik sampling dari ratusan ribu TPS secara berimbang," ujarnya.
Selain itu, mekanisme tabulasi atau pengumpulan data juga penting. Setiap lembaga survei harus membuka proses tabulasi kepada publik. Media pengiriman data dari sumber data di lapangan ke pusat penghitungan harus bisa dipertanggungjawabkan.
Anggota Tim Sukses pasangan Prabowo-Hatta, Harry Azhar Azis mengatakan perbedaan hasil hitung cepat ini bukanlah hal yang harus disikapi secara berlebihan karena bukan hasil resmi dan lebih sebagai wacana untuk mempengaruhi opini publik atas hasil hitung resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Harry bilang perlu dilakukan audit kepada semua lembaga survei ini untuk mencari siapa yang bekerja sesuai ketentuan dan siapa yang sengaja memihak.
"Sejak sebelum pilpres, lembaga survei ini seperti telah dipetakan untuk memihak salah satu calon, sehingga wajar jika semua lembaga ini harus diaudit," ujarnya.
Harry bilang, perbedaan hasil hitung cepat ini telah membuat tim Prabowo-Hatta sigap untuk mengawal hasil hitung resmi KPU dari mulai tingkat kecamatan hingga tingkat nasional.
Juru Bicara Tim Pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Hasto Kristiyanto meminta agar semua lembaga survei membuka data dan metodologi yang digunakan secara transparan. Keterbukaan dan transparansi lembaga survei ini penting karena pihaknya merasa dituduh melakukan penggiringan opini publik lewat hasil survei yang mayoritas memenangkan pasangan nomor urut dua ini. Dia pun mendukung upaya mengaudit sejumlah lembaga survei.
General Manager Litbang Kompas Harianto Santoso mengatakan, hasil hitung cepat (quick count) kini telah menurunkan kepercayaan publik akan kredibilitas lembaga survei. Karena itu, setiap lembaga survei harus membuka cara mereka melakukan survei ke hadapan publik. "Quick count itu adalah harapan dan keyakinan. Tapi kini, quick count tidak dipercaya, karena itu persoalan sekarang harus diselesaikan," ujarnya di Hotel Atlet Century Park, Kamis (10/7).
Harianto dan Hasan Nasbi, Direktur Eksekutif Cyrus Network menyatakan harus ada sanksi bagi lembaga survei yang telah menciderai kepercayaan publik agar kepercayaan publik bisa diperoleh kembali. "Agar tidak ada lagi survei-survei hitam di masa mendatang," kata Hasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News