Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana menutup Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan menyatukannya dengan Departemen Luar Negeri.
Kebijakan ini mengkhawatirkan global, termasuk negara penerima bantuan di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, terkait nasib proyek yang dibiayai USAID.
Baca Juga: Donald Trump Stop Bantuan Luar Negeri, Pemerintah Coba Pastikan ke USAID
Ekonom Center of Reform on Economic atau CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, akibat kebijakan tersebut, proyek-proyek di Indonesia, terutama di sektor kesehatan dan air minum, bisa terancam keberlanjutannya.
“Penghentian bantuan ini dapat memperlambat atau bahkan menghentikan berbagai program yang telah dirancang untuk meningkatkan akses air bersih dan sanitasi bagi jutaan masyarakat Indonesia,” tutur Yusuf kepada Kontan, Rabu (5/2).
Mengutip The Guardian, USAID menyalurkan US$153 juta atau sekitar Rp 2,5 triliun untuk proyek-proyek di Indonesia pada 2023.
Baca Juga: Trump Hentikan Dana USAID, Menko Airlangga: Tak Berpengaruh ke Indonesia
Peoyek tersebutmencakup dukungan pemerintah demokratis, antikorupsi, penanganan perubahan iklim dan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, pendidikan, serta kesehatan.
Selama beberapa tahun terakhir, USAID telah mendukung peluncuran mesin yang dengan cepat mengidentifikasi tuberkulosis dan pengobatan. USAID juga bermitra dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Indonesia untuk melatih orang-orang dalam kesiapsiagaan bencana.
Kabar yang berkembang sejauh ini, ada pembatalan rekrutmen beberapa posisi kontraktor (personal service contractor/PSC) USAID di Indonesia.
Per 24 Januari 2025, penawaran beberapa posisi PSC dibatalkan. Tidak disebutkan kapan posisi itu akan dibuka lagi.
Baca Juga: Donald Trump Setop Pengiriman Kondom untuk Hamas Senilai US$ 50 juta, Benarkah?
Pada tahun yang sama, USAID bermaksud memberikan kontribusi hingga US$ 50 juta untuk menjangkau lebih dari satu juta orang Indonesia dengan akses layanan air minum dan sanitasi aman, berkelanjutan, dan berketahanan iklim pada tahun 2027.
USAID juga akan memobilisasi 300 juta dolar AS untuk sektor air minum dan sanitasi di Indonesia sekaligus memperkuat 100 lembaga di sektor air dan sanitasi.
Yusuf menambahkan, dengan kebijakan tersebut, mobilisasi dana sebesar US$ 300 juta untuk sektor tersebut juga berisiko tidak tercapai, sehingga menghambat penguatan kapasitas institusi lokal dalam mengelola sumber daya air secara berkelanjutan.
“Secara lebih luas, kebijakan ini juga dapat mengganggu kerja sama bilateral antara Indonesia dan AS dalam isu-isu pembangunan yang lebih luas,” tambahnya.
Melihat kondisi tersebut, Ia menyarankan agar pemerintah mencari strategi alternatif untuk memastikan keberlanjutan program-program yang terdampak.
Salah satu opsi adalah meningkatkan alokasi anggaran domestik untuk sektor kesehatan dan air minum, baik melalui APBN maupun skema kerja sama dengan pemerintah daerah.
Selain itu, pemerintah dapat memperkuat kerja sama dengan lembaga-lembaga pembangunan internasional lainnya, seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan lembaga pembangunan dari negara-negara seperti Jepang (JICA), Uni Eropa, atau Australia (DFAT).
Alternatif lainnya adalah memanfaatkan skema blended finance, yang mana pendanaan dari sektor swasta dan filantropi dapat dikombinasikan dengan pendanaan publik untuk menutup kesenjangan yang ditinggalkan oleh USAID.
“Dalam jangka panjang, Indonesia juga perlu memperkuat kemandirian dalam sektor-sektor strategis agar tidak terlalu bergantung pada bantuan luar negeri yang dapat berubah seiring dinamika politik global,” tandasnya.
Selanjutnya: Pegadaian Targetkan Peroleh Laba Bersih Sebesar Rp 6,58 Triliun pada 2025
Menarik Dibaca: Cara Pengajuan KUR BRI 2025 dan Syarat Memperolehnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News