Reporter: Edy Can | Editor: Edy Can
JAKARTA. Hasil hitung cepat pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang berlangsung pada 11 Juli lalu masih menjadi buah bibir hingga saat ini. Maklum saja, pasangan petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang digadang-gadang berpotensi menang satu putaran oleh berbagai lembaga survei harus puas berada di peringkat kedua.
Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate, Toto Sugiarto, dalam diskusi Pilkada DKI: Perilaku Pemilih Rasional, Pemilih yang Berdaulat, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (15/7), mengatakan, ada tiga kesalahan yang dilakukan lembaga survei sehingga hasilnya meleset.
Pertama adalah salah potret. Ia menjelaskan, ada kantong suara yang terlewatkan atau tidak terdeteksi oleh lembaga survei tersebut. Pemilihan orang yang disurvei juga sebagian besar ibu rumah tangga karena paling mudah dijangkau. Sementara, pemilih pemula yang memiliki kemungkinan sebagai swing voter terbesar justru tidak tertangkap oleh lembaga survei ini.
"Pemilih pemula ini umumnya anak sekolah yang sulit ditemui saat jam-jam survei karena mereka sedang sekolah," ujar Toto.
Kedua, wilayah Jakarta memiliki jumlah massa mengambang yang sangat besar dibandingkan daerah lain. Saat disurvei umumnya massa ini akan menjawab ragu-ragu atau tidak tahu pilihannya. "Massa mengambang yang cair ini membuat survei kerap salah dan justru berbalik hasilnya," jelas Toto.
Ketiga, adanya konflik lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan politik juga membuat hasil survei menjadi berat sebelah. Karena terkadang pertanyaan yang diajukan kepada warga mengarah untuk memilih ke salah satu pasangan calon.
"Pertanyaannya tendensius dan membuat orang yang ditanya secara tidak sadar menjawab sesuai yang diinginkan surveyor," ungkapnya.
"Sebenarnya tidak masalah merangkap jika surveinya itu untuk internal dan pemetaan suara saja. Tidak kemudian dirilis di media," tandasnya.
Tiga kesalahan ini yang tidak disadari oleh lembaga survei sehingga dapat mengatakan bahwa pasangan nomor urut satu akan menang mudah pada Pilkada DKI Jakarta 2012 yang menawarkan enam pasang calon.
Selain itu, berbagai lembaga survei ini juga tampak tidak membaca angin perubahan yang berhembus di tengah warga Jakarta. "Lembaga survei ini tampaknya tidak membaca adanya angin perubahan ini sehingga hasilnya tidak sesuai," kata Toto. (Riana Afifah/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News