kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Tax Ratio Sulit Menanjak Meski Status Indonesia Naik Kelas, Ini Penyebabnya


Senin, 13 Mei 2024 / 15:04 WIB
Tax Ratio Sulit Menanjak Meski Status Indonesia Naik Kelas, Ini Penyebabnya
ILUSTRASI. Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta, Kamis (29/12/2022). Tax Ratio Sulit Menanjak Meski Status Indonesia Naik Kelas.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi yang masih kuat membuat Indonesia resmi naik kelas menjadi negara berpenghasilan menengah atas (upper midle income country) berdasarkan data World Bank (Bank Dunia).

Ini disebabkan pendapatan per kapita Indonesia (GNI per kapita) sebesar US$ 4.580 pada 2022, naik dari tahun 2021 sebesar US$ 4.140.

Sayangnya, naiknya tingkat pendapatan Indonesia sebagai negara dengan kategori "negara berpenghasilan menengah atas" belum diikuti dengan tingkat kemampuan penerimaan pajak yang dilihat dari angka tax ratio Indonesia.

Bahkan, tax ratio Indonesia masih kalah dengan negara-negara anggota ASEAN, G-20 serta The Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD).

Baca Juga: Soal Rencana Kenaikan Tarif PPN Jadi 12%, Ini Kata Pengamat

Dalam beberapa tahun terakhir, tax ratio Indonesia masih mengalami fluktuatif. Pada tahun 2018, tax ratio Indonesia berada pada angka 10,24%. Amgka ini kembali merosot pada tahun 2019 sebesar 9,76% dan 2020 menjadi 8,33%.

Seiring dengan pelonggaran aktivitas masyarakat, tax ratio pada tahun 2021 mulai mengalami peningkatan menjadi 9,11%. Dan pada tahun 2022, tax ratio kembali mengalami peningkatan menjadi 10,38%.

Di tahun 2022, posisi tax ratio Indonesia ini hanya lebih baik dari Laos (9,46%), Myanmar (5,78%) dan Brunei (1,30%) serta jauh di bawah Thailand (17,18%), Vietnam (16,21%) dan Singapura (12,96%).

Konsekuensi penerimaan pajak yang rendah ini tentu akan membuat semakin bertambahnya utang untuk membiayai pembangunan. Oleh karena itu, belum lama ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta International Monetary Fund (IMF) memberikan asistensi kepada Indonesia untuk upaya peningkatan tax ratio.

Baca Juga: Rasio Utang Indonesia Diprediksi Meningkat Jadi 40% di 2025, Begini Kata Kemenkeu

Direktur Jenderal Perbendaharaan Astera Primanto Bhakti menyampaikan bahwa peningkatan tax ratio Indonesia masih diperlukan untuk membiayai kebutuhan belanja ke depan.

"Saya minta dua isu strategis dimintakan asistensi dari IMF yaitu tax ratio Indonesia yang perlu ditingkatkan untuk membiayai belanja pemerintah," kata Prima.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita Indonesia memang terus menunjukkan peningkatan, setidaknya dalam empat tahun terakhir. 

Misalnya pada tahun 2020 tercatat sebesar US$ 3.927,33, kemudian pada 2021 sebesar US$ 4.349,17, meningkat lagi pada 2022 US$ 4.783,9 dan tahun 2023 mencapai US$ 4.919,7.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa rendahnya pendapatan per kapita memang menjadi salah satu alasan rendahnya angka tax ratio.

Namun yang menjadi menarik, pendapatan per kapita Indonesia justru terus mengalami kenaikan namun rasio pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetap stagnan.

"Artinya, peningkatan pendapatan per kapita kita belum mampu mendorong kinerja PPh 21. Ini temuan yang sangat menarik," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (13/5).

Fajry menjelaskan, rasio PPh 21 Indonesia terhadap PDB cenderung mengalami stagnan setiap tahunnya, bahkan sempat mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2015 ke 2016.

Baca Juga: Menko Airlangga Buka Suara Soal Penerapan Pajak Karbon hingga Tarif PPN 12%

Menurutnya, kondisi tersebut disebabkan oleh besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Fajry bilang, Indonesia mengalami kenaikan PTKP yang signifikan pada tahun 2016. Pada tahun 2015, PTKP Indonesia masih Rp 36 juta per tahun, sedangkan pada tahun 2016 naik menjadi Rp 54 juta per tahun.

Sementara itu berdasarkan data BPS, Fajry menyebut bahwa sebelum ada kenaikan PTKP masih terdapat empat hingga lima sektor yang gaji/upah-nya di atas PTKP. Namun pada tahun 2016 saat terjadi kenaikan PTKP, tidak ada satupun sektor yang memiliki gaji/upah di atas PTKP.

Oleh karena itu, dirinya menyimpulkan bahwa rasio pajak Indonesia yang masih stagnan meskipun pendapatan per kapita cenderung meningkat disebabkan oleh dua hal. 
Pertama, kenaikan pendapatan yang belum signifikan untuk mengerek tax ratio terutama PPh 21. Kedua, dampak dari kenaikan PTKP pada tahun 2016 yang masih terasa pada kinerja PPh 21 Indonesia.

"Dua hal inilah yang menjadi jawaban dari kenaikan pendapatan per kapita tapi tak mampu mengerek tax ratio," jelasnya.

Di samping itu, ada faktor lainnya seperti besarnya sektor informal yang mendominasi tenaga kerja Indonesia serta adanya fenomena deindustrialisasi. "Kita terus mengalami deindustrialisasi. Padahal sektor ini yang memberikan upah layak dan mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar," kata Fajry.

Baca Juga: Pemerintah Targetkan Tax Ratio Capai 11,2%-12% Tahun Depan, Ekonom: Harus Hati-hati

Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan bahwa rendahnya tax ratio akan membuat Indonesia sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Hal ini dikarenakan penerimaan yang terbatas akan membuat kapasitas dalam mendanai pembangunan juga relatif terhambat.

"Ini salah satu yang membuat kenapa kita masih sulit keluar dari kondisi middle income," terang Riefky.

Kendati begitu, dirinya menilai rendahnya tax ratio Indonesia tidak akan membuat Indonesia terjerat dalam perangkat utang. Hal ini mengingat rasio utang Indonesia yang masih aman dan cenderung lebih baik dibandingkan banyak negara lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×