Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah pada tahun ini, yakni Rp 1.454,5 triliun dinilai terlalu besar. Sebab, tantangan yang ada tahun ini lebih berat.
Dengan target ini, dibandingkan dengan realisasi 2017 yang sebesar Rp 1.1147 triliun, maka penerimaan pajak harus naik 26% pada tahun ini.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, seharusnya target yang dipatok oleh pemerintah hanya tumbuh 5% dibandingkan target pada tahun 2017 yang sebesar 1.283,6 triliun. Oleh karena itu, idealnya penerimaan pajak tahun ini hanya dipatok sebesar Rp 1.347 triliun.
“Saya khawatir preparation 2018 juga belum matang. Padahal peluang ada, tantangan lebih berat,” katanya kepada Kontan.co.id, Rabu (3/1).
Yustinus mengatakan, pertumbuhan realisasi penerimaan pajak, meskipun secara nominal dan persentase terhadap target meningkat, kenaikannya secara alamiah belum cukup menopang pertumbuhan kebutuhan APBN.
Ia mencatat, pertumbuhan penerimaan pajak berturut-turut berdasarkan tren di revisi APBNP menurun, yakni 6,92% pada 2014, 8% pada 2015, 4,26% pada 2016, dan 3,75% pada 2017.
Oleh karena itu, menurut Yustinus, perlu dilakukan percepatan reformasi pajak agar kapasitas institusi pemungut pajak meningkat, administrasi lebih baik, dan kepastian hukum meningkat.
“Revisi target pajak 2018 menjadi opsi yang dapat diambil agar APBN 2018 tetap kredibel dan realistis. Kenaikan yang terlalu tinggi dan keterbatasan kapasitas rawan menggelincirkan kita pada pilihan jangka pendek yang pada gilirannya dapat menciptakan praktik pemungutan yang tidak adil, misalnya pembayaran pajak di muka atau kontribusi di akhir tahun yang memberatkan wajib pajak, terutama BUMN,” jelasnya.
Ia melanjutkan, moderasi pemungutan pajak di 2018 menjadi pilihan bijak di tengah kondisi ekonomi yang sedang bergerak menuju pemulihan dan situasi sosial-politik yang menghangat.
Meski penegakan hukum yang tegas tetap dapat dilakukan, namun sebaiknya didasarkan pada analisis risiko yang baik.
Menurut Yustinus, penerapan Compliance Risk Management (CRM) yang mampu memilah wajib pajak berdasarkan risiko akan sangat membantu upaya peningkatan kepatuhan sukarela. Perbaikan kualitas belanja APBN yang semakin baik juga akan mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan pajak.
Meski tantangan cukup berat, tahun 2018 ini, Yustinus mengatakan, memiliki peluang untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui implementasi AEoI (Automatic Exchange of Information), yang akan memberi asupan informasi keuangan yang lebih akurat dan kaya.
“Maka perlu persiapan sungguh-sungguh baik dari segi akuntabilitas, teknis, sumber daya manusia, dan regulasi – untuk memastikan pemanfaatan data berjalan optimal dengan risiko minimal,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News