Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Tidak ada nama Churchill Mining Plc dalam akta notaris pendirian Ridlatama Group. Kalaupun ada, maka Izin Usaha Pertambangan (IUP) Ridlatama tidak akan keluar karena IUP hanya diperuntukkan untuk perusahaan lokal.
Hal ini diungkapkan oleh Mexson Sitompul, Consultan Power PR Asia Pacific untuk pemerintah lokal Kutai Timur Indonesia kepada Kontan, Rabu (17/10) di Jakarta.
Mexson mengungkapkan, di dalam akta notaris pendirian Ridlatama Group, tidak ada nama Churchill Mining Plc, perusahaan tambang asal Inggris yang dinyatakan menjadi pemegang saham di Ridlatama sebesar 75%.
"Penyebutan Churchill menjadi pemegang saham sebesar 75% di Ridiatama ini agak aneh karena tidak ada nama Churchill di akta pendirian Ridiatama," ungkap Mexson.
Jikalau pun ada, terang Mexson, maka pemerintah daerah Kutai Timur tidak akan mungkin menerbitkan IUP kepada Ridlatama. Hal ini dikarenakan penerbitan IUP hanya diperuntukkan bagi perusahaan lokal saja, dan tidak untuk perusahaan asing.
"Kalau untuk perusahaan asing namanya kontrak karya," tutur Mexson.
Dan mungkin saja, ungkap Mexson, perjanjian antara Churchill dan Ridlatama adalah perjanjian "di bawah meja" alias illegal.
Oleh sebab itu, lanjut Mexson, tindakan Churchill yang melakukan penuntutan ganti rugi kepada pemerintah Indonesia senilai US$ 2 miliar dalam pengadilan arbitrase internasional tidak masuk akal. "Seharusnya Churchill menuntut Ridlatama karena baik pemerintah Indonesia ataupun pemerintah Kutai Timur tidak salah," tukas Mexson.
Sebagai informasi, Churchill Mining mengajukan upaya hukum arbitrase ke mahkamah international. Dalam arbitrase itu, Churchill menuntut ganti rugi kepada Pemerintah Indonesia senilai US$ 2 miliar.
Perusahaan tambang asal Inggris itu mengaku telah dirugikan pemerintah soal adanya tumpang tindih izin pertambangan batubara di Kutai, Kalimantan Timur.
Gugatan dari Churchill telah sampai ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) pada 22 Mei lalu. Kemudian tanggal 30 Mei, ICSID mengirim pemberitahuan kepada Presiden Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Bupati Kutai Timur.
Churchill Mining Plc menuding, pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyita aset miliknya tanpa adanya kompensasi yang layak. Churchill Mining juga berupaya melakukan negosiasi masalah ini sejak dua tahun silam.
Churchill Mining Plc mulai eksplorasi batubara sejak tahun 2008. Perusahaan tambang ini terjun ke Kalimantan dengan cara akuisisi 75% perusahaan lokal bernama Ridlatama Group, Quinlivan yang memperkirakan ada cadangan batubara sebesar 2,73 miliar ton.
Tetapi nahas, empat izin usaha pertambangan (IUP) milik Ridlatama itu dicabut oleh daerah. Isran Noor, selaku Bupati Kutai Timur bilang, alasan pencabutan izin itu karena adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006–2008, yang mengindikasikan adanya IUP palsu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News