Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat surplus setelah pajak sebesar Rp 52,19 triliun dalam laporan keuangan tahun 2024. Angka ini meningkat 43,77% dibandingkan tahun 2023 yang tercatat sebesar Rp 36,3 triliun.
Kenaikan surplus tersebut berasal dari total penghasilan BI yang mencapai Rp 228,66 triliun, sementara total beban mencapai Rp 161,3 triliun.
Sebagian besar penghasilan BI berasal dari pelaksanaan kebijakan moneter sebesar Rp 226,89 triliun.
Selain itu, BI juga memperoleh pendapatan dari pengelolaan sistem pembayaran sebesar Rp 249,5 miliar, pengaturan dan pengawasan makroprudensial Rp 5,6 miliar, penyediaan pendanaan Rp 67,05 miliar, serta pendapatan lainnya Rp 1,45 triliun.
Baca Juga: Penerimaan Bea Cukai Tembus Rp 52,6 Triliun pada Akhir Februari 2025
Di sisi beban, pelaksanaan kebijakan moneter menyumbang Rp 84,07 triliun.
BI juga menanggung beban dari pengelolaan sistem pembayaran sebesar Rp 2,97 triliun, pengawasan makroprudensial Rp 1,14 triliun, hubungan keuangan dengan pemerintah Rp 55,01 triliun, serta beban umum dan lainnya sebesar Rp 18,1 triliun.
Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Bank Indonesia, apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter melebihi 10%, BI wajib menyetorkan sisa surplus kepada pemerintah.
Namun, hingga 31 Desember 2024, rasio tersebut tercatat 9,72%, sehingga tidak ada penyetoran surplus ke pemerintah. Dalam laporan yang sama, BI juga mencatat tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 59,88 triliun.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menilai capaian surplus BI perlu dicermati secara lebih mendalam. Ia menilai peningkatan penghasilan BI justru mencerminkan kondisi moneter yang patut diwaspadai.
Baca Juga: WOM Finance Bukukan Laba Bersih Sebesar Rp 262,92 Miliar pada 2024
“Kenaikan penghasilan BI pada 2024 menarik untuk dicermati, terutama jika dikaitkan dengan dinamika sektor moneter dan keuangan,” ujar Awalil.
Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah dan tingginya volatilitas harian menjadi penyumbang utama kenaikan pendapatan BI, terutama dari selisih kurs.
Selain itu, pendapatan dari bunga dan instrumen sejenis juga meningkat seiring kenaikan suku bunga acuan (BI-rate) dan bunga lending facility. Tak hanya suku bunga yang naik, nilai transaksi juga meningkat.
Kenaikan tingkat diskonto atau imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder turut berkontribusi, terutama karena kepemilikan SBN oleh BI yang semakin besar.
Baca Juga: Restitusi Pajak Melonjak Tembus Rp 111,04 triliun, Pengamat Nilai Ini Penyebabnya
Awalil menyimpulkan bahwa peningkatan pendapatan BI bukan merupakan indikator membaiknya kondisi moneter, melainkan sinyal menurunnya stabilitas dan kepastian di sektor keuangan.
Selanjutnya: Promo Emado's Super Crazy Deal sampai 6 Juli, 3 Ekor Ayam Cuma Rp 99.000
Menarik Dibaca: Promo Emado's Super Crazy Deal sampai 6 Juli, 3 Ekor Ayam Cuma Rp 99.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News