Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengungkap banjir dan longsor beruntun di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sepekan terakhir bukan sekadar bencana hidrometeorologis biasa, tetapi gejala dari krisis tata kelola ruang di Pulau Sumatera.
"Bencana ini menewaskan sedikitnya puluhan orang, melukai banyak warga, ratusan lainnya hilang, dan memaksa ribuan orang mengungsi, menunjukkan bahwa kapasitas ruang hidup untuk meredam air dan tanah longsor sudah runtuh," ungkap Koordinator Jatam, Melky Nahar, dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (04/12/2025).
Menurut Melky, situasi tersebut tidak bisa lagi dijelaskan hanya dengan narasi cuaca ekstrem melainkan harus dibaca sebagai akibat langsung dari rusaknya ekosistem hulu dan daerah aliran sungai oleh industri ekstraktif.
Baca Juga: Menhut Raja Juli Akan Cabut Izin 20 Perusahaan Pengelola Hutan
Data Kementerian ESDM yang diolah JATAM memperlihatkan Sumatera telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba. Terdapat sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469,09 hektare.
Kepadatan izin ini terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatera Selatan (217), Sumatera Barat (200), Jambi (195), dan Sumatera Utara (170), sementara provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut.
Luasan dan sebaran konsesi ini berarti jutaan hektare jaringan hutan, kebun rakyat dan lahan basah yang dulu berfungsi sebagai penyangga air kini berubah menjadi area galian, infrastruktur tambang, dan jalur angkut, yang melemahkan kemampuan DAS untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan.
Tekanan terhadap ekosistem Sumatera tidak berhenti pada tambang minerba. Sedikitnya 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) beroperasi atau dikembangkan di pulau ini, dengan sebaran terbesar di Sumatera Utara sebanyak 16 titik, diikuti Bengkulu (5 PLTA), Sumatera Barat (3), Lampung (2), dan Riau (2).
Sebaran operasi PLTA ini menandakan hampir semua provinsi di Sumatera sedang didesak menjadi basis energi air yang sarat risiko ekologis.
Di antara titik tersebut terdapat PLTA Batang Toru dan PLTA Sipansihaporas di Sumatera Utara yang memanfaatkan aliran dari salah satu DAS utama di Ekosistem Batang Toru, kawasan yang secara ekologis penting namun kini dipenuhi bendungan, terowongan air, dan jaringan infrastruktur lain.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Perbaikan Dampak Banjir Sumatra dalam 100 Hari ke Depan
Berdasarkan analisis deret waktu citra Google Satellite/Google Imagery yang dilakukan JATAM per 28 November 2025, proyek PLTA Batang Toru sendiri telah membuka sedikitnya 56,86 hektare kawasan hutan di sepanjang aliran sungai untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area penunjang, yang tampak jelas sebagai pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.
Kehadiran PLTA dalam skala masif memodifikasi aliran sungai, mengubah pola sedimen, dan memperbesar risiko banjir maupun longsor di hilir ketika kombinasi curah hujan ekstrem dan pengelolaan bendungan yang buruk terjadi bersamaan.
Di tingkat kawasan hutan, skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) menjadi pintu utama pelepasan fungsi lindung menjadi ruang ekstraksi. Di Pulau Sumatera saat ini tercatat sedikitnya 271 PPKH dengan total luas 53.769,48 hektare.
Dari jumlah tersebut, 66 izin diperuntukkan bagi tambang dengan luas 38.206,46 hektare, 11 izin untuk panas bumi/geothermal dengan luas 436,92 hektare, 51 izin untuk migas seluas 4.823,87 hektare, 72 izin untuk proyek energi lainnya dengan luas 3.758,68 hektare, sementara sisanya diberikan untuk keperluan telekomunikasi, pemerintahan, dan berbagai kepentingan lain.
Baca Juga: Bupati Nagan Raya, Aceh, Akui Belum Dapat Bantuan Apa Pun dari Pemerintah Pusat
PT Agincourt Resources, pengelola tambang emas Martabe di bentang Ekosistem Batang Toru, termasuk salah satu pemegang PPKH ini, dengan bukaan lahan yang saat ini diperkirakan telah mencapai sekitar 570,36 hektare di dalam kawasan hutan, menggambarkan skala intervensi langsung terhadap penyangga utama daerah aliran sungai di kawasan tersebut.
Di saat yang sama, perluasan energi panas bumi juga mengunci ruang hidup di banyak kawasan pegunungan pulau Sumatera. Saat ini terdapat delapan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang sudah beroperasi: empat di Sumatera Utara, satu di Sumatera Barat, dua di Sumatera Selatan, dan satu di Lampung.
Angka ini belum termasuk wilayah yang masih berstatus Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) maupun Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang sedang dieksplorasi.
Artinya, masih ada lapisan risiko baru di masa depan ketika WPSPE dan WKP ini naik kelas menjadi operasi penuh, disertai pembukaan hutan untuk sumur produksi, jaringan pipa, dan akses jalan.
Apalagi, sebagian besar proyek panas bumi berada di lereng-lereng gunung berbentang curam, kombinasi pembukaan hutan, pengeboran, dan perubahan struktur tanah berpotensi menambah kerentanan terhadap longsor dan banjir bandang.
Baca Juga: Gibran Pastikan Bantuan Korban Banjir Sumatra Dipercepat, Infrastruktur Dipulihkan
Jika seluruh angka ini disatukan, terlihat jelas bahwa wajah Sumatera saat ini adalah pulau yang tubuh ekologisnya dibebani tiga lapis industri sekaligus: tambang minerba yang merusak tutupan hutan dan tanah; PLTA yang memotong dan mengatur ulang aliran sungai; serta PLTP berikut WPSPE/WKP yang menggali kawasan pegunungan dan hulu DAS.
Ironisnya, semua proyek-proyek ini dibungkus dengan narasi transisi energi dan pembangunan ekonomi; meski di lapangan, masyarakat di bantaran sungai, lereng perbukitan, dan pesisir justru menanggung banjir, longsor, dan hilangnya sumber penghidupan.
Perlu digarisbawahi, seluruh angka dan sebaran dalam analisis ini baru mencakup tiga sektor tersebut: pertambangan minerba, PLTA, dan PLTP. Di luar itu, Pulau Sumatera masih dibebani ekspansi migas, perkebunan sawit skala luas, industri kehutanan (HPH dan HTI), serta tambang-tambang ilegal yang tidak tercatat dalam basis data resmi.
Artinya, tekanan nyata terhadap hutan, DAS, dan ruang hidup masyarakat jauh lebih besar daripada yang tergambar di atas kertas, sehingga risiko banjir dan longsor ke depan akan terus meningkat jika tidak segera dilakukan moratorium dan audit menyeluruh atas seluruh bentuk industri ekstraktif, baik legal maupun ilegal.
Dengan demikian, banjir dan longsor yang kini meluluhlantakkan pulau Sumatera adalah tanda bahwa model pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam sudah mencapai titik buntu.
Ruang hidup rakyat dikonversi menjadi deretan konsesi tambang dan mega proyek energi, sementara risiko ditanggung sendiri oleh warga di bantaran sungai, kaki bukit, dan pesisir yang saban tahun dipaksa hidup dalam sirene darurat bencana.
Baca Juga: Istana: Indonesia Masih Mampu Tangani Banjir Sumatera, Belum Buka Bantuan Asing
"Untuk itu, JATAM mendesak pemerintah untuk segera mengubah haluan, dengan segera mencabut izin-izin yang terbukti merusak, menghentikan ekspansi industri ekstraktif di kawasan hulu, rawan bencana, dan DAS kritis, serta mengembalikan ruang kelola kepada masyarakat lokal dan adat yang terbukti paling berkepentingan menjaga hutan dan sungai," tambahnya.
Tanpa langkah politik seberani itu, Melky menganggap setiap proposal tambang baru, perluasan kebun, dan megaproyek energi di Sumatera hanya akan menjadi kontrak baru untuk menambah panjang daftar korban banjir dan longsor di tahun-tahun mendatang.
Selanjutnya: Menteri PKP Siapkan 400 Rumah Standby di Medan, Relokasi Tetap Kewenangan Pemda
Menarik Dibaca: Promo The Body Shop Super Beauty Week 1-7 Desember 2025, Parfum-Face Wash Diskon 50%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













