Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gugatan perbuatan melanggar hukum (PMH) oleh PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) terhadap Bambang Hero Saharjo, akademisi dan saksi ahli lingkungan hidup, merupakan ancaman terhadap kebebasan akademik saksi ahli lingkungan hidup. Selain itu dapat membahayakan upaya-upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup Indonesia serta merusak kredibilitas institusi peradilan Indonesia.
Gugatan JJP datang pada 17 September 2018, pasca perusahaan itu ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kebakaran hutan dan lahan di areal konsesinya seluas 1.000 ha pada 2013 lalu oleh PPNS KLHK dan divonis dengan berbagai tuntutan dari PN Jakarta Utara, PT Rokan Ilir, PT DKI Jakarta, dan Mahkamah Agung. JJP menggugat Bambang karena diduga melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus membayar seluruh kerugian yang dialami perusahaan tersebut sebesar Rp 510 miliar, meliputi biaya operasional, pengurusan masalah lingkungan hidup, biaya akomodasi dan biaya lainnya sebesar Rp 10 miliar serta kerugian moril sebesar Rp 500 miliar.
“Saya memberikan keterangan di peradilan, tentu dengan memperhatikan bukti-bukti yang ada dan ilmu yang saya miliki. Hasil analisa laboratorium, bukti-bukti di lapangan menunjukkan adanya bukti terbakar dan pH tanah yang meningkat,” ungkap Bambang, Jumat (19/10).
Guru Besar Kehutanan IPB menjelaskan, keterangan yang diberikan di pengadilan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk vonis majelis hakim. “Gugatan yang ditujukan kepada saya adalah sebuah ancaman atau intimidasi terhadap para saksi ahli, agar tidak memberikan kesaksiannya. Saya cukup kaget dan kecewa dengan sikap yang ditunjukkan JJP, apalagi sekarang ini negara kita sedang berusaha sekuat tenaga untuk memerangi kebakaran hutan dan lahan,” tukasnya.
Selama menjalankan profesinya, baik sebagai akademisi maupun saksi ahli ia selalu menjunjung tinggi integritasnya dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah, fakta-fakta di lapangan dan hasil analisis laboratorium. Disamping itu, keterangan ahli di persidangan merupakan salah satu kegiatan akademik yang dilindungi oleh hukum. Keterangan ahli yang berasal dari aktivitas akademik tentu berdasarkan metode ilmiah dan pemikiran – pemikiran yang diyakini oleh yang bersangkutan dan diberikan atas dasar sumpah di muka persidangan.
Sebelum gugatan PHM kepada Bambang, gugatan lain terhadap saksi ahli yang memperjuangkan lingkungan hidup juga pernah dilayangkan kepada Basuki Wasis, dosen IPB oleh pihak Nur Alam di PN Cibinong atas kasus pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).
Gugatan kepada Basuki tersebut sebagai buntut dari keterangan yang dia berikan, baik kepada penyidik maupun di persidangan. Saat itu, Basuki yang dihadirkan sebagai ahli perhitungan kerugian dampak lingkungan mengungkapkan bahwa perkara korupsi ini mengakibatkan kerugian musnahnya atau berkurangnya ekologis atau lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabaena sebesar Rp 2,72 triliun.
Atas kriminalisasi akademisi dan saksi ahli ini, berbagai kalangan yang tergabung dalam Forum Akademisi dan Masyarakat Sipil Peduli Basuki-Bambang menolak kriminasi oleh korporasi. Sebanyak 44 civitas akademika dan 27 lembaga masyarakat sipil bersama-sama menyatakan menghadapi berbagai teror korporasi yang menghadang upaya Basuki-Bambang dalam mengungkapkan kebenaran di peradilan demi mewujudkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat yang sampai dengan saat ini sudah mendapat dukungan.
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, hal ini menjadi sebuah fenomena menarik yang dikhawatirkan akan merusak tatanan hukum ketika keterangan seorang saksi ahli yang sifatnya adalah sebagai bahan pertimbangan dan tidak mengikat menjadi objek gugatan dan menjadi dasar pencegahan hukum atas vonis yang sudah diputukan oleh hakim terhadap JJP.
Apabila diduga terdapat ketidaksesuaian secara akademik, maka harus dikembalikan kepada ranah akademik yang ada, misalnya melalui peer review mechanism atau bahkan sidang etik akademik. Di samping itu, peranan ahli sangat penting dalam upaya penegakan hukum karhutla untuk membantu dan mengetahui kejadian yang sebenarnya. Terlebih lagi, gugatan kepada saksi ahli juga dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk, sehingga banyak ahli-ahli yang kemudian tidak bersedia memberikan keterangan yang dibutuhkan dalam suatu kasus.
“Yang harus digarisbawahi adalah pejuang lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata sesuai pasal 66 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) serta dalam pasal 76 UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Apabila terdapat ketidaksesuaian secara akademik, maka langkah yang sepatutnya dilakukan adalah melakukan peer review mechanism dan bukannya mengajukan gugatan kepada saksi ahli,” tukasnya.
Charles Simabura, akademisi dari Universitas Andalas menyebutkan, sebagai akademisi tentu Bambang memiliki tanggung jawab moril atas ilmu yang dimilikinya untuk dikontribusikan kepada masyarakat dan lingkungan. Hal ini yang sering kali membuat akademisi diminta untuk menjadi saksi ahli dalam berbagai kasus sesuai dengan keahliannya oleh negara. “Namun jika negara tidak serius dalam memberikan perlindungan, maka saksi ahli diimbau untuk tidak hadir lagi dalam persidangan dan memberikan keterangannya,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Abdon Nababan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menganggap, kasus kriminalisasi masyarakat adat sudah biasa terjadi dan sangat massif. Yang menjadi hal baru adalah, korban kriminalisasi dan intimidasi sudah sampai pada level akademisi bahkan professor. “Perusahaan paham betul kalau peraturan perundangan-undangan, memihak mereka. Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) mungkin juga kaget dengan adanya kasus seperti ini, maka perlu adanya diskusi dengan LPSK,” ungkapnya.
Menurut Abdon, apabila benar benar terjadi tindak pidana, maka ini juga bisa jadi bentuk kelalaian LSPK. Saksi ahli dibutuhkan oleh negara untuk menjelaskan duduk perkara suatu kasus yang merugikan banyak sekali orang. Jika ini diproses, maka akan menjadi tanda tanya besar bagi peradilan. “Jadi bisa dibayangkan, bagaimana usaha-usaha membela HAM yang sudah kita lakukan, terancam oleh korporasi yang memiliki kekuatan untuk memasuki arena peradilan,” kritiknya
Martua T Sirait, Forest Watch Indonesia (FWI) bilang, FWI memiliki tujuan untuk memantau dan selama ini, memang benar adanya banyak sekali intimidasi yang terjadi. Intimidasi yang sering kali dihadapi oleh aktivis lingkungan adalah pasal pencemaran nama baik dan perlakuan tidak menyenangkan ketika menyampaikan pandangan yang kritis. Tetapi kali ini, intimidasi yang dihadapi jauh lebih dalam sampai kepada pendapat saksi ahli di pengadilan.
“Intimidasi ini sudah naik level dan menyerang secara lebih dalam. Tidak lagi kepada NGO tapi juga kepada saksi ahli dalam persidangan. Namun melihat banyaknya dukungan baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat sipil, saya percaya dan lebih yakin, kalau hal yang serupa terjadi pada kami, kami tidak takut,” tuturnya.
I Nyoman Suryadiputra, Wetlands International - Indonesia mengungkapkan, kasus ini sejak 2013 dan baru belakangan ini muncul gugatan. Kalau kebakaran terjadi di lahan berhutan, kerugiannya tidak saja mencakup flora fauna, tapi juga terhadap timbulnya polusi air dan udara yang kalau dihitung maka ini bisa lebih besar tuntutannya. Banyak sekali variable kerugian yang mesti dipertimbangkan dan dampak tidak langsung yang ditimbulkan. Yang menjadi catatan, kalau kebakaran di lahan berhutan, maka peran berbagai jasad renik di dalam rantai makanan perlu diperhitungkan. Kalau kebakaran/pembakaran terjadi di lahan sawit, misal dalam hal membasmi hama (sepert jamur Ganoderma), nilai kerugian tentunya akan berbeda.
“Sekarang apa yang bisa dilakukan kalau pengadilan kita tidak bisa memposisikan siapa yang benar atau salah, maka pasar yang bisa menjawab. Pasar yang akan melihat aspek sistem sertifikasinya, karena dengan membakar seperti ini akan dihitung berapa banyak karbon yang dilepaskan, hal ini yang akan mempengaruhi sertifikasinya tersebut,” sebutnya.
Sampai berita ini diturunkan, KONTAN belum mendapat konfirmasi dari pihak PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) terkait kasus ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News