Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenekeu) memastikan instrumen fiskal akan dikerahkan untuk meredam dampak wabah virus Corona (Covid-19) semaksimal mungkin.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, stimulus ekonomi melalui instrumen fiskal terutama kini diarahkan untuk mendukung kinerja sektor produksi serta konsumsi masyarakat agar tak tertekan dan berdampak besar pada prospek pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Baca Juga: Sri Mulyani sesuaikan pemberian insentif dengan perkembangan wabah virus corona
“Sekarang, kita melihat sudah merembet ke sektor produksi. Maka kita harus formulasikan beberapa opsi kebijakan, sudah mulai dikaji dan akan kita umumkan segera. Sekarang instrumen fiskal akan memainkan peran dalam rangka memitigasi dampak negatif semaksimal mungkin,” kata Sri Mulyani, Rabu (4/3).
Beberapa opsi kebijakan fiskal yang tengah dipertimbangkan Kemenkeu saat ini di antaranya berkaca pada pengalaman pada periode krisis finansial tahun 2008-2009 lalu. Sri Mulyani menyebut, salah satunya adalah dengan pemberian fasilitas PPh 21 (Pajak Karyawan), meski ia belum menjelaskan lebih rinci seperti apa gambaran spesifik insentif tersebut.
“Dari sisi fiskal, kita bisa jauh lebih fleksibel. Kita sedang pelajari mana yang paling efektif. Bisa juga berikan ke perusahaan melalui penundaan pajak seperti dulu 2008-2009 yaitu PPh 21 bisa ditunda,” tandasnya.
Baca Juga: Perbankan masih percaya diri target kredit tercapai di tengah wabah virus corona
Selain mengkaji instrumen fiskal yang tepat, Sri Mulyani juga sedang mengidentifikasi sektor-sektor industri apa saja yang paling terdampak dan paling membutuhkan stimulus agar tetap dapat beroperasi.
"Baik itu industri elektronik, otomotif, petrokimia, tekstil to some extent, dan juga alas kaki, akan kita lihat semua," ujarnya.
Jika menoleh pada periode krisis finansial pada 2008-2009 lalu, pemerintah memang mengalokasikan stimulus fiskal yang sangat besar yaitu mencapai Rp 73,2 triliun, dengan realisasi sebesar Rp 60,6 triliun.
Stimulus diberikan baik dari sisi penerimaan yaitu melalui pemotongan dan subsidi pajak, maupun dari sisi belanja melalui penurunan harga solar, diskriminasi tarif listrik industri, hingga penambahan anggaran belanja infrastruktur.
Baca Juga: Jokowi minta fokus entaskan 9,91 juta masyarakat termiskin
Di bidang perpajakan, stimulus pada masa itu diberikan dalam bentuk tax saving atau pemotongan pajak berupa penyederhanaan lapisan penghasilan, penurunan tarif PPh OP dan PPh Badan, kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dan penyederhanaan lapisan tarif badan dari lapisan tertinggi 30% menjadi single tarif 28%, serta pemberian tarif diskon 5% pada perusahaan masuk bursa yang mayoritas sahamnya (minimal 40%) dimiliki oleh publik.
Pemerintah juga telah memberikan subsidi pajak sebagai bagian dari stimulus fiskal dalam bentuk PPh Panas Bumi, PPh Pasal 21, PPN Minyak Goreng, PPN Bahan Bakar Nabati, PPN Eksplorasi Migas, dan Bea Masuk Industri. Semua ini ditujukkan untuk mengurangi beban dan memelihara daya beli masyarakat di tengah krisis ekonomi dunia.
Khusus stimulus dalam bentuk PPh 21, pemerintah waktu itu menerapkan kebijakan PPh 21 Ditanggung oleh Pemerintah (DTP) dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 43 Tahun 2009.
Baca Juga: Pemerintah tegaskan anggaran bukan jadi persoalan dalam menangani virus corona
PPh 21 DTP tersebut diberikan kepada pekerja pada sektor usaha tertentu serta dengan jumlah penghasilan bruto di atas PTKP dan tidak lebih dari Rp 5 juta per bulan.
Adapun sektor usaha tertentu yang dimaksud meliputi sektor pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehuanan, sektor perikanan, dan sektor industri pengolahan (manufaktur).
Saat itu, pemerintah menerapkan kebijakan PPh 21 DTP terhadap pajak penghasilan yang terutang untuk masa pajak Februari 2009 sampai dengan November 2009 dan dilaporkan paling lama 20 Desember 2009.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News