Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto, meminta pemerintah memperkuat diplomasi terkait eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati warga negara lain. Menurut Agus, diplomasi adalah cara ampuh untuk memberi pemahaman pada negara asing yang warga negaranya dipidana hukuman mati di Indonesia.
"Dahulukan diplomasi sehingga bisa memberi pengertian pada negara yang bersangkutan," kata Agus, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (23/2).
Pemerintah Australia dan Brasil protes atas rencana eksekusi mati terhadap warga negaranya. Perdana Menteri Australia Tony Abbott meminta pemerintah Indonesia membatalkan eksekusi mati tersebut.
Bahkan, Presiden Brasil Dilma Rousseff menunda secara mendadak penyerahan credential Duta Besar RI untuk Brasil kepada Toto Riyanto. Pembatalan penyerahan tersebut di saat Toto sudah berada di Istana Kepresidenan bersama dubes-dubes lain.
"Sebaiknya perkuat diplomasi. (Hukuman mati) ini suatu aturan hukum yang ditaati dan harus dipahami berlaku di NKRI," ucap Agus.
Sementara itu, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, tidak ada satu pun negara lain yang dapat memberikan tekanan kepada Indonesia dalam penerapan hukuman, termasuk eksekusi mati.
"Enggak, enggak ada. Kalaupun ada yang menekan kita jalan terus. Enggak masalah itu," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Senin.
Menurut dia, permohonan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia merupakan hal yang wajar.
"Itu bagian dari diplomasi hubungan luar negeri kita. Tidak masalah, biarkan saja. Kita tetap jalankan apa yang menjadi hukum di negeri kita," tegasnya.
Prasetyo menambahkan, saat ini pihaknya masih menyiapkan proses eksekusi tahap kedua. Rencananya, proses eksekusi itu akan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Namun, ia tak memberikan ketegasan mengenai waktu eksekusi tersebut.
"Kalau persiapan sudah selesai kita eksekusi. Kalau Maret sudah selesai kita laksanakan," ujarnya.
Pada Januari 2015, Kejaksaan sudah melakukan eksekusi terhadap enam terpidana mati kasus narkotika. Lima diantaranya WNA, yakni berasal dari Belanda, Malawi, Brasil, Nigeria, dan Vietnam. (Indra Akuntono)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News