Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pihak pemohon.
Fokus utama permohonan dalam perkara Nomor 135,137 PUU-XXIII/2025 ini tertuju pada Pasal 65 ayat 2 juncto Pasal 67 UU PDP. Kedua pasal tersebut dinilai mengandung potensi serius untuk memberangus kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Tanah Air.
Sebagai informasi, Pasal 65 ayat 2 UU PDP berbunyi, “setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkap data pribadi yang bukan miliknya.” Ancaman pidana bagi pelanggar pasal ini diatur dalam Pasal 67.
Baca Juga: Kemenko Perekonomian Pastikan Data Pribadi Masyarakat Indonesia Tidak Disetor ke AS
Ahli dari Akademisi Binus, Ahmad Sofian, menjelaskan bahwa frasa "melawan hukum" dalam pasal tersebut harus ditafsirkan secara ketat dan tegas oleh Mahkamah Konstitusi agar tidak menimbulkan multitafsir yang berbahaya di kemudian hari.
Menurutnya, penafsiran yang sempit akan memastikan bahwa subjek hukum yang mendapat pengecualian dalam undang-undang lain, seperti insan pers yang dilindungi UU Pers, tidak dapat dijerat pidana saat mengungkap data pribadi demi kepentingan publik.
“Memastikan bahwa perbuatan melawan hukum yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah perbuatan melawan hukum dalam arti formil di lapangan hukum pidana,” ujar Ahmad dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Ahmad mencontohkan, kerja jurnalistik seringkali harus mempublikasikan putusan pengadilan yang mencantumkan nama lengkap terpidana korupsi. Tanpa adanya pengecualian yang jelas dalam UU PDP, media bisa dilaporkan oleh terpidana yang merasa data pribadinya diungkap.
“Padahal itu diumumkan secara terbuka, lalu dikutip nama, alamatnya padahal pengadilan sudah menyebutkan, tetapi tidak dikecualikan di dalam pasal 65 dan penjelasannya, maka berpotensi ditafsirkan untuk bisa dilaporkan media tersebut,” terangnya.
Baca Juga: MK Tolak Gugatan Hapus Kolom Agama di KTP, Sebut Permohonan Tidak Lazim
Senada, ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P. Wiratraman, membeberkan alasan mengapa MK perlu memberikan penafsiran yang membuka ruang pengecualian dalam pasal tersebut. Alasan utamanya adalah ketidakpastian rumusan yang berpotensi menjadi "pasal karet".
Menurut Herlambang, rumusan yang tidak pasti akan membuka ruang bagi penafsiran yang terlalu luas dan bisa disalahgunakan untuk menekan kebebasan berekspresi.
“Artinya, tafsir abusive itu akan demikian mudah terjadi,” tegasnya.
Ia menambahkan, pengecualian pemrosesan data pribadi untuk tujuan jurnalistik, akademik, hingga artistik merupakan hal yang lazim dan diizinkan selama memiliki tujuan yang sah (legitimate aim) serta proporsional.
Kepentingan publik, menurutnya, tidak seharusnya berada di bawah kepentingan perlindungan data pribadi semata. Oleh karena itu, putusan MK dalam perkara ini menjadi krusial untuk memberikan kepastian hukum yang transparan dan diketahui seluruh warga negara.
“Hemat saya adalah itu harus jelas, terbuka, transparan dan diketahui oleh semua warga negara dalam konteks kasus permohonan a quo adalah penafsiran konstitusional melalui putusan Mahkamah Konstitusi,” tambahnya.
Herlambang menekankan bahwa kebebasan berekspresi dan hak atas privasi adalah dua hal yang saling menguatkan. Tanpa privasi, kebebasan berekspresi terancam. Sebaliknya, tanpa kebebasan berekspresi, pencarian kebenaran menjadi mustahil.
Selanjutnya: Kinerja Japfa Comfeed (JPFA) Ditopang Harga Ayam dan MBG, Cek Rekomendasi Sahamnya
Menarik Dibaca: 10 Tips Pola Makan agar Panjang Umur ala Orang Jepang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News