Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi corona yang tak terduga membuyarkan rencana dan program-program pemerintah. Gara-gara wabah corona yang menyebar cepat dan belum mereda hingga saat ini, seluruh sumber daya termasuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) difokuskan untuk menangani corona termasuk mengatasi dampak ekonomi pandemi corona.
Alhasil, di tahun pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin ini, lebih banyak untuk menangani dampak corona. Di tengah tekanan penerimaan negara akibat dampak pandemi corona, pemerintah juga harus melakukan ekspansi fiskal yang membuat defisit APBN melebar.
Tahun 2020, pemerintah mematok defisit APBN sebesar Rp 1.039,2 triliun atau setara dengan 6,34% terhadap produk domestik bruto (PDB). Besaran defisit 2020 lantas mengubah ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Keuangan Negara yang mematok maksimal 3% terhadap PDB.
Kebijakan ini sebagaimana ditungkan dalam Peraturan Presinden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 yang merupakan aturan pelaksana atas Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 terkait penanggulangan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan akibat dampak pandemic Covid-19).
Baca Juga: Sri Mulyani sebut Indonesia sudah masuk dalam tren pemulihan ekonomi
Baca Juga: Jokowi: Informasi soal vaksin corona harus detail, agar tidak dipelintir dan didemo
Setali tiga uang, langkah tersebut menjauhkan cita-cita pemerintah untuk memulihkan defisit 2020 menjadi 1,7% atau lebih baik dari pencapaian 2019 yang sebesar 1,84% dari PDB.
Pandemi negara juga jadi penyebab pendapatan negera turun karena pajak tidak bisa diandalkan saat ekonomi tergerus. Dalam APBN 2020, pemerintah menargetkan penerimaan negara sebesar Rp 1.699,9 triliun jauh lebih rendah daripada realisasi tahun lalu senilai Rp 1.957,2 triliun.
Sementara belanja negara dipatok sebesar Rp 1.841,1 triliun, tumbuh 15,45% dari realisasi di sepanjang tahun lalu Rp 1.594,66. Melalui belanja negara ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah berupaya untuk menjaga perekonomian dalam negeri di tengah pandemi.
Harapannya, pertumbuhan ekonomi di tahun ini hanya minus 1,7% sampai dengan minus 0,6%. Sehingga, bisa menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang tahan banting dari dampak pandemi corona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, rata-rata proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun dari berbagai lembaga internasional yakni sebesar minus 1,5%. Angka ini lebih baik daripada rerata proyeksi negara lain seperti Amerika Serikat (AS) minus 4,3%, Jerman minus 6%, dan India minus 10,3%. Bahkan lebih baik daripada beberapa negara tetangga seperti Malaysia yang bisa minus 6%, Thailand minus 7,1%, dan Filipina minus 8,3%.
Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi suatu negara nyatanya tidak berbanding lurus dengan besaran defisit anggaran. India misalnya yang mempergunakan ruang defisitnya hingga 13,1%, Malaysia defisit 6,5%, Thailand 5,2%, dan Filipina 8,1%.
Sampai dengan kuartal III-2020, pertumbuhan ekonomi negara tetangga yakni Filipina dan Thailand masing-masing diprediksi minus 6,3% dan minus 9,3%. Sementara pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada Juli-September 2020 sebesar tumbuh minus 2,9% sampai minus 1%. Setidaknya sudah pulih dari kontraksi kuartal II-2020 yang kontraksi hingga 5,32%.
“Indonesia, relatif dalam situasi yang cukup baik meskipun ini tentu tidak membuat kita terlena. Kita tetap berusaha untuk mengembalikan perekonomian kita kepada zona positif,” kata Menkeu Sri Mulyani, Senin (19/10).
Baca Juga: Sri Mulyani optimistis kinerja ekspor semakin membaik
Di sisa tahun ini, Sri Mulyani meyakini, ekonomi bisa sesuai dengan prediksi dengan motor penggerak berasal dari program Pemulihan Ekonomi Nasioanl (PEN) yang memakan anggaran hingga Rp 695,2 triliun. Penyebab defisit anggaran itu, disalurkan untuk kebutuhan negara dalam membiayai dampak pandemi baik di bidang kesehatan, sosial, ekonomi, maupun keuangan.
Namun, program yang berlangsung sejak Maret 2020 lalu itu penyalurannya masih rendah.Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan sampai dengan 14 Oktober 2020, realisasi program PEN mencapai Rp 344,11 triliun atau 49,5% dari pagu.
Padahal, waktu Kemenkeu untuk menyalurkan anggaran yang menyebabkan defisit anggaran membengkak itu tinggal sekitar dua bulan lagi, atau sampai akhir tahun ini. Hal tersebut sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 yang merupakan payung hukum program PEN.
Secara lebih rinci, realisasi anggaran kesehatan sebesar Rp 27,59 triliun, perlindungan sosial Rp 167,08 triliun, sektoral K/L dan pemda Rp 28 triliun, insentif usaha Rp 29,68 triliun, dukungan UMKM Rp 91,77 triliun. Sementara, pembiayaan korporasi menunggu waktu yang tepat, alias belum terealisasi sama sekali.
Sri Mulyani tetap yakin kalau program PEN bisa terserap 100% di tahun ini. Caranya dengan melakukan eskalasi program melalui koordinasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, baik dengan cara meringkas peraturan pelaksana yang berbeli atau realokasi anggaran program tertentu.
Strategi itu pun sudah mulai dijalankan sejak Agustus lalu. Hasilnya, realisasi program PEN mengalami akselesari yang signifikan dari Agustus ke September 2020. “Juli-Agustus naik Rp 63,93 triliun dan Agustus-September naik Rp 106,88 triliun,” ujar Sri Mulyani.
Selanjutnya: Setahun Jokowi-Ma'ruf Amin, Asaki apresiasi stimulus dan regulasi pemerintah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News