Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menyebutkan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Juni 2021 sebesar 103,59 atau naik 0,19 persen dibandingkan NTP bulan Mei 2021.
Kenaikan ini disebabkan indeks harga yang diterima petani (lt) naik sebesar 0,01 persen, sedangkan indeks harga yang dibayar petani (lb) turun sebesar 0,18 persen.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah, menyebutkan di tengah tren positif kenaikan NTP nasional dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah harus memberi perhatian lebih terhadap subsektor-subsektor penyusun NTP yang tengah mengalami penurunan.
Baca Juga: Dengan bersatu, omzet petani mete di Flores Timur kian melaju
“Meskipun secara umum trennya positif, tetapi dari data NTP Juni 2021, kita lihat NTP subsektor tanaman pangan dan hortikultura itu berada di bawah standar impas (100), masing-masing 97,27 dan 98,98. Tentunya persoalan ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk segera diatasi,” ujar Agus dalam rilis yang disampaikan kepada Kontan.co.id, Minggu (4/7).
Lebih lanjut, Agus menambahkan perkembangan dua subsektor tersebut fluktuatif. Misalnya saja NTP subsektor pangan. Sejak awal tahun trennya terus menurun bahkan dari Februari 2021 sudah di bawah standar impas.
Begitu juga hortikultura, setelah sempat mengalami tren naik namun kini justru turun di bawah standar impas untuk Juni 2021. Sehingga di antara semua subsektor, hanya subsektor tanaman perkebunan rakyat yang stabil.
Turunnya NTP di kedua subsektor tersebut, menurut Agus juga dirasakan oleh anggota SPI di berbagai wilayah.
“Laporan dari anggota kami memang sama seperti dikatakan BPS, harga hortikultura, khususnya sayur-sayuran dan cabai, anjlok. Kita juga melihat saat ini memang konsumsi masyarakat cenderung rendah, dampaknya adalah hasil pertanian tidak laku,” keluhnya.
Penerapan PPKM darurat, Agus berharap agar pemerintah memastikan distribusi tidak terganggu, karena akan berdampak pada petani selaku produsen pangan. Pasalnya jika berkaca pada pembatasan mobilitas di awal pandemi itu berdampak pada distribusi hasil panen tidak optimal.
Baca Juga: UPDATE corona di Jakarta Minggu 4 Juli 2021 positif 10.485, sembuh 5.816 meninggal 76
Dampaknya di tingkat petani harga jual menjadi sangat fluktuatif, karena permintaan menurun. “Hal ini tentunya tidak boleh terulang kembali,” ujarnya.
Guna mengantisipasi hal tersebut, Agus menyebutkan, pemerintah idealnya harus memaksimalkan keberadaan dari koperasi petani untuk membeli produk petani dengan harga yang ditetapkan dan menguntungkan petani, serta menyalurkan pangan ke lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat.
“Ini memotong rantai pasok distribusi bisa dilakukan dengan memaksimalkan peran Bulog, BUMN pangan dan koperasi petani untuk menampung logistik hasil panen. Ini bisa memanfaatkan peran koperasi petani yang sudah ada, salah satunya Koperasi Petani Indonesia (KPI) sebagai koperasinya SPI. Ini bisa jadi solusi untuk dipraktikkan,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News