kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Serapan insentif untuk industri tak maksimal, desainnya perlu dibuat lebih menarik


Selasa, 23 Juni 2020 / 20:29 WIB
Serapan insentif untuk industri tak maksimal, desainnya perlu dibuat lebih menarik
ILUSTRASI. Ilustrasi pajak, tax Amnesty Jakarta (04/14). Kontan/Panji Indra


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah berupaya mengendalikan dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 dengan menebar berbagai insentif yang ditujukan bagi industri guna mendorong pergerakan perekonomian nasional.

Namun nyatanya, insentif tersebut kurang dimanfaatkan oleh pelaku usaha dan dinilai belum optimal. Hal ini mendorong pemerintah untuk terus mengkaji ulang bentuk pemberian insentif agar lebih tepat sasaran dan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh pelaku usaha.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan, dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp 600 triliun untuk biaya penanganan Covid-19. Dari jumlah tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk insentif usaha sebesar Rp 120,61 triliun.

Baca Juga: Pemerintah guyur Rp 20 triliun untuk insentif PPh emiten

Sayangnya, realisasi penerima insentif usaha masih belum optimal. Dari total anggaran sebesar Rp 120,61 triliun, realisasi penerimaan insentif pajak untuk pelaku usaha baru mencapai 6,8%.

Febrio mengakui, program stimulus fiskal ini masih menghadapi berbagai tantangan di tingkat operasional. Pemanfaatan insentif oleh pelaku usaha dan pembiayaan korporasi masih jauh dari optimal.

"Banyak wajib pajak yang elligible untuk menerima insentif namun tidak mengajukan permohonan," ujar Febrio dalam APINDO Members Gathering yang mengambil tema mengenai Peran Kebijakan Akselerasi Produk Inovasi di Era New Normal yang digelar akhir pekan lalu.

Karena itu, Febrio mengatakan, otoritas membuka ruang adanya revisi kebijakan insentif fiskal jika memang realisasinya tidak optimal. Pemerintah juga akan lebih fleksibel dalam melihat insentif apa yang berhasil dan yang tidak untuk mengoptimalkan penggunaan insentif dalam rangka mendorong perekonomian pasca Covid-19.

"Policy design akan kami lihat setiap minggu. Kami akan lihat juga insentif lainnya seperti apa kondisinya. Jadi, bisa dilakukan perubahan jika memang perlu," ujar Febrio.

Febrio bilang, ada cara sederhana untuk melihat apakah suatu insentif fiskal efektif atau tidak. "Kalau mendapatkan tax holiday, misalnya, apakah internal rate return (IRR) naik secara signifikan atau tidak sehingga menjadi jailbreaker baik itu usaha baru maupun inovasi baru," kata Febrio.

Terkait pemberian insentif dalam rangka menarik investasi, Febrio mengatakan, ada tiga hal yang menjadi patokan. Pertama, apakah insentif untuk investasi tersebut akan memberikan value added yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan penerimaan pemerintah yang hilang.

Baca Juga: Wajib pajak yang bantu tangani Covid-19 dapat insentif pajak penghasilan, apa saja?

Kedua, apakah investasi tersebut merupakan investasi yang berdaya saing tinggi sehingga akan menghasilkan surplus transaksi berjalan. Ketiga, investasi tersebut harus menciptakan lapangan kerja.

Menanggapi hal tersebut, Partner of Tax Research and Training Services Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji mengatakan, pemerintah sebetulnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan insentif fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi.

Namun, Bawono menilai, pemerintah kini perlu mengkaji ulang pemberian insentif tersebut. Sebab, pandemi Covid-19 telah menyebabkan perubahan perilaku di sisi  pelaku usaha, UMKM, dan masyarakat umum.

Maklum, pandemi Covid-19 telah mendorong perubahan pola perilaku konsumen yang pada gilirannya menuntut pelaku usaha mengubah cara menjalankan usahanya. Nah, di era pasca Covid-19, adaptasi terhadap teknologi yang mengedepankan pola pikir progresif dan menghasilkan produk inovasi akan menjadi kunci keberhasilan pelaku usaha.

Makanya, menurut Bawono, salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing pasca pandemi Covid-19 adalah melalui instrumen pajak misalnya pungutan pajak yang lebih rendah untuk mobil listrik karena memiliki eksternalitas negatif yang juga rendah.

Baca Juga: Realisasi insentif pajak hingga baru 6,8%, ini penyebabnya menurut Menkeu

Pasca Covid-19, Bawono berharap, pemerintah menciptakan rezim fiskal yang membantu terciptanya berbagai inovasi. Semua instrumen fiskal bisa dimanfaatkan, termasuk PPnBM dan cukai.

Demi mendorong lebih banyak investasi dan inovasi, Bawono mengatakan, struktur biaya (cost structure) perusahaan dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam merumuskan insentif khusus bagi perusahaan yang berinvestasi dalam research and development (R&D) dan pengembangan produk berdasarkan teknologi di dalam negeri.

“Hal ini dapat menjadi pertimbangan akses konsumen pada produk yang terjangkau dan keberlangsungan perusahaan jangka panjang,” tutup Bawono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×