Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris
Pengantar
Artikel opini ini telah terbit di Harian KONTAN, Rabu 28 Mei 2014. Redaksi menurunkan lagi di Kontan.co.id untuk menjangkau pembaca yang lebih luas. Selamat membaca.
Sepakbola dan Sistem Ekonomi Indonesia
Oleh Satrio Wahono,
Magister filsafat UI
Tak sampai sebulan lagi, warga dunia akan menikmati perhelatan sepakbola akbar Piala Dunia 2014, tepatnya pada 12 Juni nanti di Brasil. Diperkirakan, ajang ini akan ditonton sekitar dua miliar pasang mata di seluruh dunia. Seperti yang sudah-sudah, penggila bola di tanah air ini hanya bisa menonton kesebelasan negeri lain berlaga di negeri samba itu. Harapan menyaksikan tim nasional berkompetisi di sana masih menjadi angan-angan belaka.
Memang tidak masuk akal bagaimana negeri dengan salah satu jumlah fans sepakbola terbanyak di dunia seperti Indonesia tak mampu menghasilkan 11 pemain sepakbola berkualitas untuk tampil di sepanjang sejarah kompetisi empat tahunan tersebut sejak diselenggarakan pertama pada 1930. Padahal, jika saja timnas Indonesia mampu berlaga di piala dunia, efeknya bagi negara akan terasa: mulai dari terangkatnya citra bangsa hingga berkilaunya pemain-pemain nasional di bursa transfer liga dunia.
Ada satu fakta unik yang berguna bagi upaya bangsa ini membangun satu tim nasional yang bisa sukses mengikuti piala dunia. Yaitu, adanya relasi antara sistem atau mazhab ekonomi yang dianut satu negara dengan kesuksesan timnas sepakbola mereka.
Pasti banyak orang belum tahu bahwa sejak kali pertama diadakan pada 1930 hingga piala dunia terakhir 2010 lalu, juara piala dunia selalu datang dari negara berhaluan ekonomi sosialisme: Uruguay (juara dunia dua kali, 1930, 1950), Brasil (lima kali, 1958, 1962, 1970, 1994, 2002), Inggris (satu kali, 1966), Argentina (dua kali, 1978, 1986), Prancis (satu kali, 1998), Italia (empat kali, 1934, 1938, 1982, 2002), Jerman (tiga kali, 1954, 1974, 1990), dan Spanyol (satu kali, 2010).
Sosialisme adalah suatu mazhab ekonomi yang mengutamakan peranan negara dalam ekonomi, menomorduakan pemilikan individu (private property), mengutamakan aspek pemerataan atau kesejahteraan ketimbang aspek pertumbuhan, dan mementingkan motif pelayanan sosial ketimbang laba.
Sosialisme dari para juara pala dunia terdiri atas dua macam varian. Pertama, sosialisme negara yang dianut negara-negara Amerika Latin. Menurut varian ini, penghapusan pemilikan pribadi hanya diperuntukkan bagi sektor-sektor yang mengandung aspek kemaslahatan umum, seperti sektor energi, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Pengalihan status hak milik sektor itu menjadi milik umum alias Negara membuat penguasa bisa membuat batasan tertinggi untuk sewa dan batas terendah untuk upah.
Mencampakkan sosialisme
Kedua, sosialisme demokrat yang lebih lunak dan umum dianut para negara daratan Eropa. Varian ini memberikan toleransi terhadap pemilikan individu atas barang-barang konsumtif dan apa saja yang bisa dikonsumsi sehingga orang boleh memiliki rumah untuk tempat tinggal dan memiliki apa saja yang bisa dihasilkan oleh tanah dan industri. Peranan negara juga dominan dalam pemberian tunjangan dan subsidi.
Yang jelas, tidak ada satu pun negara penganut kapitalisme, termasuk Amerika Serikat sebagai negara adidaya, mampu meraih trofi Piala Dunia.
Kita mafhum prinsip utama dalam permainan sepakbola adalah semangat tim alias kolektivitas, yang persis merupakan sendi penting sosialisme. Ego pribadi pemain, sehebat apa pun dia, haruslah diredam demi mewujudkan permainan efektif guna menghasilkan kemenangan.
Maka itu, individualisme yang begitu dijunjung tinggi sistem ekonomi kapitalistis justru akan menumpulkan efektivitas permainan satu tim sepakbola. Kreativitas alias inisiatif pribadi seperti diusung kapitalisme memang diperlukan, tapi semua itu harus dikerahkan demi mencapai tujuan kesejahteraan (baca: kemenangan tim), bukan kejayaan individu pemain. Dengan kata lain, semakin larut satu individu dalam jiwa korsa satu tim, akan luar biasa tim sepakbola itu.
Berangkat dari tesis ini, Indonesia punya harapan untuk terus optimistis akan prestasi tim kita mengingat para founding fathers negeri ini telah menggariskan sosialisme-religius sebagai mazhab ekonomi negeri ini. Definisi sosialisme religius adalah mazhab ekonomi yang didasarkan pada semangat ketuhanan, persaudaraan, dan kesejahteraan (Bung Hatta dalam Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, 2002).
Hanya, patut disayangkan, cita-cita sosialisme religius itulah yang persis dicampakkan para pemangku kebijakan negeri ini. Alih-alih mengikuti haluan itu, para pemimpin bangsa ini justru ‘mengkhianati’nya dan membawa negeri ini ke corak ekonomi berhaluan lebih liberal.
Lihat saja, betapa kita ramai-ramai ‘menjual’ banyak aset negara di bidang yang terkait kesejahteraan umum, seperti aset di bidang telekomunikasi, energi, perbankan, dan sebagainya. Atau, kita banyak membuka sektor-sektor publik itu diserbu oleh investasi asing dengan kepemilikan mayoritas. Padahal, konstitusi kita, khususnya pasal 33 UUD 1945 ayat (2) tegas menyatakan “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak (baca: sektor publik) dikuasai Negara.”
Lebih parah lagi, negeri ini sering begitu senang mencetuskan satu solusi sederhana bagi masalah defisit anggaran: naikkan harga. Bukti konkretnya, tahun ini kita seakan tanpa empati dihajar berbagai kenaikan harga yang ada dalam kendali negara: tarif tol, tarif dasar listrik, pajak bumi dan bangunan, keharusan membayar premi asuransi untuk menikmati Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang pelayanannya masih jauh dari menggembirakan, dan kini wacana kenaikan harga BBM bersubsidi.
Jadi, pemerintah seakan lupa peran konstitusional mereka sebagai pihak yang harus memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar (pasal 34 UUD 1945) serta memenuhi hak asasi warga negara di berbagai bidang (Pasal 28A sampai 28I UUD 1945). Dengan kata lain, negeri ini kian mengarah pada penerapan kapitalisme liberal.
Oleh karena itu, kita tidaklah perlu heran jika tim nasional Indonesia tidak pernah berhasil masuk ke kualifikasi final Piala Dunia. Itulah karena kesalahan kolektif kita yang mengabaikan haluan sistem ekonomi yang digariskan para pendiri bangsa ini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News