Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memiliki deretan kebijakan yang tertunda di tahun 2019 dan dinantikan realisasinya pada 2020.
Selain dua aturan sapu jagat alias omnibus law yang bakal menjadi Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan Undang-Undang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, di tahun depan, ada beberapa aturan dan kebijakan yang sebenarnya sudah menjadi wacana cukup lama tetapi belum juga terealisasi.
Salah satunya, relaksasi daftar negatif investasi (DNI). Sejak akhir 2018, Kementerian Koordinator Perekonomian yang waktu itu masih dikomando Menko Darmin Nasution menyatakan bakal merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Namun, realisasi kebijakan tersebut tak kunjung ada hingga setahun berselang.
Baca Juga: Airlangga sebut pemerintah tengah menyempurnakan Daftar Positif Investasi
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto akhirnya buka suara soal perkembangan kebijakan relaksasi DNI tersebut belum lama ini. Ia menyatakan, pemerintah bakal merevisi DNI menjadi daftar positif investasi yang terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok daftar prioritas (priority list), daftar putih (white list), serta daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan tertentu, termasuk syarat kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM).
“Targetnya Januari 2020 ini selesai dan daftar positif investasi akan terbit dalam bentuk Perpres, tidak perlu menunggu omnibus law selesai dulu,” ujar Airlangga beberapa waktu lalu.
Dari sisi fiskal, ada juga sejumlah aturan dan kebijakan yang terus terulur. Pertama, penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk kebijakan superdeduction tax bagi wajib pajak (WP) badan yang melakukan investasi pada riset dan pengembangan (R&D).
Menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 yang menjadi payung hukum pemberian fasilitas superdeduction tax, Kementerian Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 128/2019 yang mengatur pemberian insentif untuk kegiatan vokasi dan pemagangan.
Namun, aturan teknis pemberian insentif untuk kegiatan R&D belum juga rampung. PMK tersebut penting sebagai acuan fasilitas superdeduction tax untuk investasi riset dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan dengan besarannya mencapai 300%.
Ambil contoh, sebuah perusahaan membangun pusat riset dan pengembangan di dalam negeri dengan nilai investasi Rp 1 miliar, maka pemerintah akan memberi pengurangan terhadap pajak penghasilan (PPh) hingga Rp 3 miliar.
Baca Juga: Genjot pertumbuhan ekonomi 2020, ini tiga strategi pemerintah
“Rancangan PMK sedang kita draf-kan dan koordinasikan dengan Menko Perekonomian,” tutur Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Arif Baharudin kepada Kontan.co.id, Selasa (31/12).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020—2024 di Istana Negara pertengahan Desember 2019 lalu telah menyatakan bahwa kebijakan pemangkasan pajak penghasilan untuk perusahaan dalam rangka kegiatan vokasi, riset dan inovasi harus berlaku di tahun depan.
Meski begitu, Arif juga belum dapat memastikan kapan persisnya PMK superdeduction tax untuk kegiatan R&D ditargetkan terbit. “Kita lakukan pembahasan terus,” imbuhnya.
Aturan fiskal lainnya yang juga masih tertunda terkait dengan pengenaan tarif cukai atas penggunaan kantong plastik. Wacana aturan tersebut telah digodok dalam beberapa tahun terakhir, bahkan pos p enerimaan dari cukai plastik pun telah bertengger dalam APBN sejak 2017 lalu.
Baca Juga: Masih tahap awal, ini cakupan sementara dari Omnibus Law
Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro mengatakan, proses pemnbahasan selanjutnya masih menunggu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Update-nya, sudah selesai untuk peraturan antarkementarian (PAK). Tinggal menunggu ke DPR,” kata Deni saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (31/12).
Anggota Komisi XI DPR Andreas Susetyo sebelumnya mengatakan, pembahasan soal cukai plastik perlu dilakukan lebih lanjut mengingat pembahasan terakhir dilakukan dengan anggota DPR periode sebelumnya, belum dengan anggota DPR periode terbaru yaitu 2019-2024.
Selain itu, pembasan lanjutan itu juga diharapkan menyentuh topik mengenai rancangan peta jalan (roadmap) kebijakan ekstensifikasi cukai untuk jangka panjang, selain cukai kantong plastik.
“Jadi kami menekankan soal roadmap pengenaan cukai kantong plastik ini seperti apa, seperti halnya roadmap untuk cukai hasil tembakau. Jadi bukan hanya cukai yang sekarang mau diterapkan saja,” tandas Andreas waktu itu.
Regulasi lainnya yang masih “mandek” di dewan legislatif adalah revisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Sebelumnya, Kemenkeu telah menyampaikan beberapa usulan poin perubahan di antaranya m eningkatkan dan mengubah tarif bea meterai menjadi hanya satu tarif tunggal sebesar Rp 10.000 per lembar, juga m enyederhanakan batasan pengenaan bea meterai dari minimal Rp 250.000 menjadi minimal Rp 5 juta.
Pemerintah pun mengusulkan agar dokumen yang menjadi objek bea meterai tidak hanya terbatas pada dokumen kertas, tapi juga dokumen digital, serta mengusulkan agar pemungut bea meterai (penerbit dokumen) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelunasan bea meterai.
Baca Juga: Revisi Perpres DNI, Pemerintah Munculkan Daftar Positif Investasi
Meninjau dokumen Daftar Prolegnas Rancangan UU Prioritas Tahun 2020, DPR menempatkan RUU tentang perubahan UU Bea Meterai sebagai salah satunya. Draft RUU beserta naskah akademis akan disiapkan di bawah Komisi XI DPR RI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News