Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah ekonom menilai pengembalian pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia saat ini belum tepat. Alih-alih mewacanakan rencana tersebut, pemerintah diminta untuk lebih fokus menangani masalah di sektor keuangan dan riil.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah bilang, di tengah situasi pandemi, wacana tersebut justru kontraproduktif. Ketakpuasan pemerintah terhadap kinerja OJK selama pandemi menurut PIter juga tak bisa jadi alasan pembubaran OJK.
Baca Juga: Temui OJK, begini harapan nasabah Minna Padi Asset Manajemen
“Sangat tidak tepat waktunya, di tengah pandemi, mestinya fokus untuk minimalisir dampaknya ke perekonomian. Kinerja OJK sendiri sebenarnya cukup baik, mereka tanggap melonggarkan restrukturisasi dan mampu menahan laju NPL. Kalau soal ketatnya likuiditas, dan pertumbuhan kredit itu tidak bisa disalahkan OJK,” katanya kepada KONTAN, Minggu (5/7).
Sementara Ekonom Indef Bhimas Yudhistira bilang jikalau pemerintah memang bersikeras ingin membubarkan OJK, perlu waktu yang tidak sebentar, dan kajian yang mendalam.
Ia mencontohkan bagaimana lembaga sejenis OJK di Inggris yaitu Financial Service Authority (FSA) yang dinilai gagal menyelamatkan industri perbankan dari krisis 2008, baru dibubarkan pada 2013.
Baca Juga: Dana pensiun akan diramaikan pemain asing
“Kegagalan FSA menyelamatkan perbankan dari krisis 2008 bukan berarti langsung saat itu juga dibubarkan. Baru 5 tahun atau 2013 setelah ada keputusan final FSA dibubarkan dan dibentuk dua lembaga pengawas keuangan yang baru,” ungkapnya.
Memang Bhima mengakui ada sejumlah skandal keuangan yang mesti dihadapi OJK seperti Jiwasraya, Bumiputera, SNP Finance, dan teranyar soal Bank Banten, dan Bank Bukopin.
Namun ia menjelaskan berada dalam pengawasan BI, skandal industri keuangan juga tak luput hadir. BI gagal mengantisipasi perkara Bantuan Likudiitas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998, dan masalah likuiditas Bank Century pada 2008.