Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Diam bukan berarti tidak mengamati. Begitulah sikap politik Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Meski belum menetapkan arah koalisi partai besutannya, diam-diam SBY ternyata telah mengamati sejumlah janji kampanye calon presiden (capres) yang diusung partai lain.
Simak saja penuturan SBY dalam program wawancara khusus yang diunggah di situs Youtube yang dipublikasikan pada Senin, 5 Mei lalu.
Dalam situ Youtube http://www.youtube.com/watch?v=s9O7K5c8CPE, SBY mengimbau kepada para capres untuk tidak memberikan janji-janji muluk kepada rakyat.
“Saya tetap konsisten pada sikap dan pandangan saya, bahwa untuk memilih pemimpin negeri ini, presiden mendatang, kita harus tahu persis, begitu dia terpilih apa yang akan dilakukan. Mau di bawa ke mana negeri kita ini. Pemerintahan mau dijalankan seperti apa?” kata SBY, seperti dikutip Kontan, Rabu (7/5).
Yang jelas, menurut SBY, dirinya dan rakyat tidak akan memilih seorang calon presiden yang tidak yakin bahwa yang dijanjikannya bisa dilaksanakan dan yang dilaksanakan itu membawa manfaat bagi kita semua.
SBY menegaskan, selama ini ada capres mengumbar janji-janji kampanye yang dinilainya berbahaya. Misalnya, kata SBY, seorang capres mengatakan, kalau jadi presiden, semua aset asing akan dinasionalisasi, di ambilalih begitu saja.
Barang kali, tegas SBY, yang mendengar retorika seperti itu, sebagian akan menganggap hebat capres tersebut. Nasionalismenya tinggi.
“Tetapi, kalau capres itu menjadi presiden, semua aset dinasionalisasi yang perjanjiannya sudah (diteken) sejak era bung karno, Pak soeharto, hingga sekarang ini, maka hari ini dilakukan nasionalisasi semua aset asing di Indonesia, besok kita dituntut di pengadilan arbitrase. Lusa kita bisa kalah. Kalahnya itu akan memporak porandakan perekonomian kita, dampaknya akan sangat dashyat,” imbuh SBY.
Oleh karena itulah, menurut SBY, kalau memang ada seorang capres yang bersikukuh akan menjalankan nasionalisasi seluruh aset asing di negeri ini, dia tidak akan memilihnya, tidak akan mendukungnya. Karena, SBY mengaku tahu risikonya dan itu membawa malapetaka bagi perekonomian Indonesia.
Contoh lain, menurut SBY, dirinya mendengar ada sebuah kubu atau capres, kalau terpilih maka kita akan kembali ke UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan. Artinya, persis kembali ke era dulu, sistem presidensial murni.
MPR memegang kembali pemerintahan dan kenegaraan. Lalu, pemilihannya pun menjadi pemilihan tidak langsung. Itu mudah diucapkan, tetapi bagaimana implementasinya?
“Apakah tidak mengganggu stabilitasi politik secara nasional, apakah itu tidak membalik sejarah? Saya tidak bisa membayangkan, kalau hal itu betul-betul dijanjikan dan akan dilaksanakan. Dengan dua contoh tadi, bisa begini, itu hanya janji kampanye dan tidak dilaksanakan. Nah, kalau seperti itu, rakyat akan marah. Atau dilaksanakan betul tidak peduli dampaknya bagi negara kita,” kata SBY.
SBY memahami, kalau kerja sama dengan pihak asing janganlah merugikan negara kita. Kemudian, janganlah kontrak-kontrak itu justru yang mendapatkan keuntungan pihak asing. Dan, kedepan ini sebaiknya kerja sama itu adil dan kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
SBY mengakui, hasil reformasi mungkin ada yang kebablasan. Sebagian rakyat juga merasakan. Namun, hal itu bisa diperbaiki tanpa harus mundur kembali ke UUD 1945 sebelum ada perubahan. Sebab, hal itu akan menciptakan instabilitas dan akan mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan.
“Para capres bicaralah kepada rakyat, apa yang mau dilaksanakan, kita dengar bersama-sama. Dan saya, tegas mengatakan, tidak akan pernah mendukung capres manapun, kubu manapun yang janji-janjinya itu justru membahayakan kehidupan bangsa kita,” tegas SBY.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News