Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Menjelang masa pendaftaran pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden, Partai Demokrat belum juga menunjukkan manuver politiknya. Partai yang dalam hitung cepat mendapat posisi keempat ini paling terlihat pasif dibandingkan partai-partai lain soal pembentukan koalisi.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pun menyimpan rapat bagaimana sikap partainya ke depan. Geliat mereka bahkan tak seaktif partai-partai yang berdasarkan hitung cepat mendapatkan suara di bawah capaiannya. Ada apa di balik sikap diam SBY ini?
Sinyal ke Megawati meredup
Dalam sebuah wawancara yang diunggah ke Youtube, SBY sebenarnya sudah pernah membuat pernyataan kuat soal koalisi ini. Dia mengatakan ingin membuka kembali komunikasi dengan semua pihak, tak terkecuali dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri.
"Saya ini ingin berkomunikasi dengan siapapun, termasuk dengan Ibu Megawati sepanjang komunikasi itu berlangsung dengan baik, berangkat dari niat yang baik pula, dan semuanya tentu untuk kepentingan bangsa dan negara. Terlebih ketika kita sedang memikirkan siapa pemimpin bangsa yang akan datang. Komunikasi seperti itu diperlukan," kata SBY.
Video itu diunggah pada Jumat (25/4/2014). SBY mengatakan, dalam satu minggu ini dia telah menjalin komunikasi dengan banyak pihak untuk bertukar pikiran. Mereka, sebut Presiden Indonesia ini, adalah petinggi partai maupun tokoh nasional.
"Oleh karena itulah, kalau memang Tuhan menakdirkan saya bisa berkomunikasi baik dengan Ibu Megawati sebagaimana komunikasi saya dengan yang lain, itu juga bisa menjadi jalan bagaimana bangsa dan negara ini bisa kita majukan bersama-sama," ujar SBY.
Pernyataan SBY ini cukup mengejutkan lantaran pada saat yang bersamaan Partai Demokrat tengah menjadi incaran partai besar lain seperti Partai Golkar dan Partai Gerindra. Kedua bakal capres partai itu, Aburizal “Ical” Bakrie dan Prabowo Subianto, pun meminta bertemu SBY.
Namun, SBY terlihat tetap belum mau membuat manuver. Pertemuan dengan tokoh-tokoih itu, seperti dinyatakan juru bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul, hanya dilakukan oleh elite partai yang mendapat tugas dari SBY. Karenanya, sinyal SBY untuk merajut kembali komunikasi dengan Megawati ini terbilang spesial.
Meski demikian, seperti yang kerap kali terjadi, harapan bisa jadi cuma harapan, tepukan tangan pun belum tentu bersambut. Pintu belum dibuka Megawati untuk SBY, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di masa pemerintahannya.
Hubungan kedua tokoh ini merenggang sejak 2004, saat SBY yang masih jadi menteri di kabinet Megawati itu "diam-diam" memutuskan maju menjadi bakal calon presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla. Banyak cerita berkembang sebagai penjelasan atas peristiwa itu, termasuk kabar bahwa Kalla pun sebenarnya diminati Megawati menjadi pasangannya di Pemilu Presiden 2004.
Setelah keinginan rujuk ini tak bersambut, SBY pun tampak memilih diam. Pengamat politik dari UIN Jakarta, Gun Gun Heriyanto, berpendapat sangat sulit bagi SBY mencairkan hubungannya dengan Megawati saat ini. “Akan terkesan sangat tricky bagi Megawati,” ujarnya.
Bagi SBY, sebut Gun Gun, rekonsiliasi dengan Megawati akan memberikan citra sangat positif menjelang periode pemerintahannya berakhir. SBY akan dianggap sebagai seorang negarawan karena mampu berdamai dengan masa lalu. “Menjadi soft landing bagi SBY jika berhasil rekonsiliasi dengan Megawati,” ucapnya.
Sebaliknya bagi Megawati, kata Gun Gun, sikap SBY yang tiba-tiba secara eksplisit diumumkan ini bermakna politis. Upaya rekonsiliasi ini, ujar dia, tak lepas dari suasana manuver koalisi yang sangat kuat. Menurut dia, Megawati pun tak akan mau dimanfaatkan SBY dengan ajakan koalisi. “Jadi sangat sulit jalan Demokrat untuk berkoalisi dengan PDI-P,” tuturnya.
Poros baru
Setelah lama tak ada sinyal baru, Senin (5/5/2014), tiba-tiba SBY mengajak wartawan peliput di istana berbincang informal. Saat menunggu Putra Mahkota Brunei Darussalam, SBY tanpa pertanda bertanya kepada wartawan tentang peta koalisi saat ini.
Menanggapi momen tak terduga itu, wartawan pun melontarkan celetukan bahwa sekarang yang sedang ditunggu-tunggu adalah manuver Partai Demokrat. Jawaban menggelitik pun terlontar dari SBY. “Tanpa Demokrat sudah kuat. Katanya menunggu Demokrat, tapi tanpa Demokrat kan mereka sudah kuat,” ujar SBY sambil tersenyum.
Pernyataan SBY ini pun mengundang tanda tanya. Banyak yang kemudian berspekulasi bahwa pernyataan SBY itu sinyal bahwa partai pemenang dua kali pemilu berturut-turut ini akan mengusung proso baru. Namun, prediksi Demokrat akan menggalang poros baru ini pun tampaknya semakin lama sulit terealisasi.
Gelagat kecilnya peluang kemunculan poros baru, barangkali bisa dibaca dari pergerakan Partai Amanat Nasional. Partai yang dipimpin oleh besan dari SBY, Hatta Rajasa itu sudah menyatakan tinggal menunggu ijab kabul dengan Partai Gerindra.
Partai kelas tengah lain, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), memperlihatkan kesan sudah siap mendarat di koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Mitra lain koalisi Partai Demokrat saat ini, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga sudah mulai terbaca pilihan koalisinya.
Golkar dan PKS, misalnya, menyatakan merapat ke Gerindra. Sementara PPP saat ini masih berada di antara dua pilihan, PDI-P atau Gerindra. Namun, Ketua DPP PKS Sohibul Iman mengakui bahwa partainya sebenarnya menunggu kepastian Partai Demokrat menggalang poros baru.
"Namun komunikasi kami dengan Demokrat terhambat lantaran mereka tidak membawa figur mana yang akan diusung. Ini menyulitkan. Di saat yang bersamaan, komunikasi dengan Gerindra sudah lebih maju,” ujar Sohibul.
Dengan kondisi ini, terlihat ruang gerak Partai Demokrat membentuk poros baru semakin sempit. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Ramadhan Pohan pun mengakui partainya tak akan mungkin gegabah membentuk poros baru jika tidak ada tolok ukur yang pasti.
Jadi pemain pasif
Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, melihat ada kemungkinan SBY memilih menjadi pemain pinggiran jika komunikasi dengan Megawati buntu. Artinya, SBY dengan Partai Demokrat tak akan memilih kubu mana pun dalam pemilu presiden kali ini. SBY pun diyakini tak akan memilih kubu Partai Gerindra.
“Dengan munculnya dua nama besar, Aburizal dan Prabowo, apalagi (mereka) sudah memposisikan capres dan cawapres, SBY akan berpikir 1.000 kali bergabung dengan Gerindra. Sehingga, yang muncul kemudian adalah tidak mendukung siapa pun dan menjadi pemain pasif dalam pertarungan pilpres putaran pertama ini,” papar Yunarto.
SBY, lanjutnya, kemungkinan akan lebih memilih Partai Demokrat kembali di titik nol daripada harus masuk ke poros yang dibangun Partai Gerindra dengan risiko yang lebih besar. “SBY ini cerdas. Dia lebih baik bermain di luar, tidak masuk ke arus yang ada. Tapi nanti, setelah ada Presiden terpilih, dia akan merapat dan masuk dalam pemerintahan. Dengan menjadi pemain pasif saat ini akan lebih menguntungkan bagi Demokrat,” kata Yunarto.
Kemungkinan Demokrat menjadi pemain pasif ini lebih kuat dibandingkan prediksi Demokrat akan mengambil sikap oposisi. Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte pun tak meyakini Demokrat bisa menjadi partai oposan. Pasalnya, Demokrat dinilai tak memiliki amunisi kader yang andal untuk menjadi oposisi.
"Saat Demokrat dibentuk, dia langsung berkuasa hingga 10 tahun. Apakah Partai Demokrat punya stamina untuk jadi oposisi? Apa mereka punya keberanian? Saya rasa tidak," ujar Philips. Dia pun memperkirakan Demokrat akan tetap melakukan koalisi dengan pemerintahan yang terpilih.
Jika Jokowi yang terpilih sebagai presiden, kata Philips, SBY berpotensi menjalin komunikasi dengan Megawati. Hubungan SBY dan Megawati dianggap akan lebih cair setelah presiden terpilih diketahui lantaran kepentingan politik sudah lebih mengendur.
"Demokrat membutuhkan PDI-P dan sebaliknya. Tinggal di internal PDI-P ini apakah mau mengajak banyak partai ke dalam pemerintahannya atau tetap konsisten dengan koalisi yang sedikit partai. Bentuk koalisi aslinya baru akan diketahui setelah presiden terpilih," kata Philips. (Sabrina Asril)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News