Reporter: Cecylia Rura | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus penipuan perjalanan umroh First Travel turut menarik perhatian Ombudsman. Lembaga pengawas penyelenggara pelayanan publik ini juga ikut melakukan investigasi.
"Sebanyak 58.642 sudah membayar lunas tapi belum berangkat, sebagai lembaga negara yang memperhatikan negara ini, ORI (Ombudsman Republik Indonesia) melakukan investigasi," kata Ketua Ombudsman Amzulian Rifai di sela kata sambutan dalam acara klarifikasi tata kelola pelayanan umrah di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (4/10).
Acara ini mengundang beberapa stakeholder seperti Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Luar Negeri yang kemudian diwakilkan oleh staf utusan dan Menteri Pariwisata yang berhalangan hadir dan diwakilkan oleh pihak imigrasi.
Disampaikan oleh Anggota Ombudsman Ahmad Su'adi awal permasalahan ini muncul ketika ada laporan dari masyarakat yang tidak bisa berangkat dan sebagian tidak bisa pulang dari Tanah Suci. "Kami seharusnya menyelesaikan laporan ini, tapi di lapangan kami menemukan banyak masalah, terutama korban dari First Travel.
"Ada yg bilang korban First Travel itu adalah bencana, kalau begtu bencana belum berakhir, kami mencoba mulai menginvestigasi mulai dari A-Z," terangnya.
Ahmad memaparkan beberapa saran kepada pihak Kementerian Agama secara rinci agar tidak lagi terulang kejadian yang sama seperti pada kasus penipuan oleh agen perjalanan First Travel.
Pertama, soal peraturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dulunya masih berjudul "Haji", bukan " Umrah", sehingga diasumsikan Ibadah Umrah adalah bagian dari Ibadah Haji.
"Ibadah Umrah saat itu masih sangat sedikit dan diasumsikan bahwa Umrah itu bagian dari Ibadah Haji. Nah peraturan pemerintah yang baru diperbaharui adalah tahun 2012, kemudian peraturan kementerian agama yang diperbaharui 2015," tandas Ahmad.
Dijelaskan lebih lanjut, pada 2013 terjadi kenaikan pendaftar ibadah Umrah yang cukup drastis. Salah satu penyebabnya adalah kuota tang membludak sehingga mengharuskan para calon jamaah menunggu.
Pun kenaikan tersebut belum diantisipasi peraturan-peraturan baru, sehingga yang terjadi kecenderungannya Umrah menjadi bagian dari industri, "Ibadah yang terindustrikan," jelas Ahmad.
Kedua, perlu adanya perbaikan dan prinsip dalam penetapan peraturan jika tidak maka kasus First Travel akan kembali muncul dan berkembang. Disebutkan, kasus ini menyebabkan kerugian hingga setengah triliun rupiah.
Ketiga, Ahmad mengatakan perlu dipisahkan antara urusan Umrah pada Kementerian Agama dan atau swasta menurut Undang-Undang yang ada. "Misalnya penyelenggara Umrah dari pemerintah dan swasta bisa jadi ada conflict of interest, jadi ada double peran di sini," papar Ahmad.
Lebih lanjut ia mengatakan sebaiknya dipisahkan antara urusan ibadah dan urusan industri, jika masih dicampur akan menimbulkan masalah.
Perlu diketahui mencuatnya kasus First Travel ini pertama kali pada bulan Maret 2017 yang kemudian diproses dan dicabut izin pengoperasiannya pada Agustus 2017 setelah dilakukan investigasi oleh Ombudsman dan pihak terkait.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News