kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Risiko Jumlah Penduduk Miskin Naik Akibat Perubahan Penghitungan & Kebijakan


Kamis, 06 Oktober 2022 / 14:43 WIB
Risiko Jumlah Penduduk Miskin Naik Akibat Perubahan Penghitungan & Kebijakan
ILUSTRASI. Risiko jumlah penduduk miskin naik akibat perubahan penghitungan & kebijakan.KONTAN/Fransiskus Simbolon/06/08/2020


Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya mengurangi jumlah penduduk miskin tampaknya makin berat. Selain Bank Dunia telah mengubah batas hitungan garis batas kemiskinan, Badan Pemeriksa Keuangan juga menilai program pemerintah pusat dan daerah untuk menanggulangi kemiskinan tidak berjalan beriringan.

BPK ikut menyoroti upaya pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan Indonesia sepanjang tahun anggaran 2021 yang dilaksanakan pada 34 pemerintah provinsi di Indonesia.

Ketua BPK Isma Yatun mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan, upaya yang dilaksanakan pemerintah provinsi kurang efektif menanggulangi kemiskinan.

Hal tersebut lantaran, masih terdapat beberapa permasalahan antara lain pada aspek kebijakan. 

Baca Juga: Inflasi Dongkrak Jumlah Masyarakat Miskin

Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, masih terdapat pemerintah provinsi yang belum menyusun atau menetapkan rencana penanggulangan kemiskinan daerah (RPKD) dan rencana aksi tahunan (RAT).

Kemudian untuk aspek pelaksanaan, BPK menilai dalam upaya penanggulangan kemiskinan masih terdapat pemerintah provinsi yang belum melaksanakan kegiatan penanggulangan kemiskinan secara tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat manfaat, serta belum melaksanakan monitoring dan evaluasi secara memadai.

"BPK merekomendasikan gubernur terkait antara lain untuk yang pertama penyusun RPKD dan RAT secara lengkap dan tepat waktu," kata Isma dalam Sidang Paripurna DPR RI ke VIII Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (4/10).

Selain itu, BPK juga merekomendasikan gubernur untuk menetapkan dan menerapkan, mekanisme koordinasi perencanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan daerah, dengan pemerintah kabupaten atau kota, antar perangkat daerah dan institusi terkait di wilayahnya.

Baca Juga: Bank Dunia: Dampak Kenaikan Inflasi Lebih Dirasakan Masyarakat Miskin

"Serta melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program atau kegiatan penanggulangan kemiskinan," imbuhnya.

 Pemerintah Indonesia tampaknya harus kerja keras mengatasi lonjakan penduduk miskin di tanah air.

Apalagi Bank Dunia baru-baru ini mengubah batas garis kemiskinan yang menyebabkan jumlah penduduk miskin Indonesia bakal melonjak tajam.

Sebab, pada tahun 2022 Bank Dunia mengadopsi purchasing power parities (PPPs) 2017.

Bank Dunia dalam laporan bertajuk World Bank East Asia and The Pasific Economic Update October 2022, Reform for Recovery yang terbit pada akhir September 2022.

Penerapan PPPs 2017 dengan pertimbangan agar tingkat kemiskinan lebih mencerminkan harga yang berlaku dibandingkan dengan PPPs 2011, 

Hitungan baru ini menyebabkan penduduk yang mendekati batas garis kemiskinan di seluruh negara akan meningkat. 

Baca Juga: Indonesia Urutan 73 Negara Termiskin di Dunia

Perubahan ini, meliputi kenaikan tingkat garis batas kemiskinan ekstrem secara internasional.

Walhasil, penduduk miskin di negara negara berpenghasilan rendah akan berubah total. 

Sebagai gambaran, jika semula penghitungan garis batas kemiskinan Bank Dunia mengacu PPPs 2011, yakni sebesar US$ 1,9 per orang per hari, dengan PPPs 2017, naik menjadi US$ 2,15 per orang per hari. 

Pada laporan tersebut Bank Dunia tidak memperinci berapa jumlah lonjakan penduduk di bawah garis kemiskinan atau biasa disebut dengan kemiskinan ekstrem. 

Baca Juga: Alasan Pemerintah Targetkan Kemiskinan Turun Hingga 7,5% pada 2023

Bank Dunia menyebut dampak terhadap kemiskinan ekstrem memang terbatas, lantaran tingkat kemiskinan ekstrem di kawasan Asia dan Pasifik relatif sangat rendah. 

Khusus Indonesia, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia yang ada di bawah garis kemiskinan pada akhir Maret 2022 yang lalu mencapai 26,16 juta orang.

Sementara untuk kelompok hampir miskin atau di atas batas garis kemiskinan menengah ke bawah, naik tinggi lantaran batasnya juga direvisi dari semula US$ 3,2 per orang per hari, menjadi US$ 3,65 per orang /hari.

Adapun garis kemiskinan untuk kelas berpenghasilan menengah atas direvisi dari US$ 5,50 per orang/hari menjadi US$ 6,85 per orang/hari.

Baca Juga: Sri Mulyani: Gejolak Ekonomi Global Tahun Depan Akan Dikelola dengan Prudent

Dengan metode perhitungan baru ini Bank Dunia menyebut akan menyebabkan terjadinya lonjakan penduduk miskin terutama di Indonesia dan China.

Dalam hitungan Bank Dunia, di Indonesia menggunakan basis data kemiskinan 2019 jumlah penghitungan penduduk dengan kategori miskin lower middle income class dengan batas penghasilan US$ 3,65 per orang /hari akan mencapai 67 juta jiwa atau bertambah sebanyak 13 juta jiwa. 

Sebagai pembanding dengan penghitungan lama jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 54 juta jiwa.

Sedangkan kelompok warga menengah atas yang ada di atas garis kemiskinan atau rerata berpenghasilan sebesar  US$ 6,85 per orang per hari, dengan hitungan baru mencapai 168 juta jiwa.

Padahal dengan hitungan lama, kelompok masyarakat yang disebut Bank Dunia dalam kategori upper middle income class poverty line ini masih sebesar 141 juta jiwa yang artinya bertambah 27 juta jiwa. 

Menurut pertimbangan Bank Dunia di Indonesia dan China terkena dampak besar penghitungan baru ini lantaran kemiskinan di kedua negara ini bersama-sama menyumbang lebih dari 85% penduduk miskin secara regional.

Faktor yang paling penting adalah perubahan tingkat harga di negara Asia Timur dan Pasifik tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat. 

Selain itu harga relatif yang lebih tinggi menyiratkan penurunan daya beli, sehingga menghasilkan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi. 

Bank Dunia mengasumsikan pada tahun 2017, sekeranjang barang dan jasa di beberapa negara Asia Timur dan Pasifik lebih mahal dibandingkan dengan Amerika Serikat.

Di China, misalnya, harga makanan dan pakaian 15% - 40% lebih tinggi daripada rata-rata global pada tahun 2017.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×