Sumber: Kompas.com | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) dinilai akan memperlemah lembaga KPK.
Diberitakan Kompas.com (6/9), revisi UU KPK tersebut mendapatkan protes dari berbagai elemen masyarakat, tak terkecuali oleh internal KPK. Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia?
Baca Juga: Anggota Komisi III DPR bantah ada operasi senyap dalam revisi UU KPK
Dilansir dari acch. kpk.go.id, pada tahun 1970, Presiden Soeharto pernah menyatakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Saat itu, Soeharto menyatakan hal tersebut bertepatan dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI dan menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi.
Pemerintahan saat itu sempat menerbitkan Keppres No. 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi.
Seiring dengan berjalannya waktu, tim tersebut tidak berhasil melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi.
Peraturan ini justru mengundang berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya "Komisi 4".
Komisi tersebut bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya. Pada tahun yang sama, mantan Wakil Presiden RI Bung Hatta memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia.
Baca Juga: Jokowi belum mau berkomentar banyak soal Revisi UU KPK
Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim tersebut masih terbilang muda. Hatta juga merasakan bahwa cita-cita pendiri bangsa telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda.
Masih dari sumber yang sama, ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.
Masa Orde Baru
Masa Orde baru dapat dibilang masa yang paling banyak mengeluarkan peraturan soal pemberantasan korupsi karena masa pemerintahannya juga panjang. Kendati banyak mengelurkan peraturan-peraturan, tidak banyak yang dapat berlaku efektif untuk memberantas korupsi.
Menyambung pidatonya di hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto juga mengeluarkan UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca Juga: Jokowi: Betapa pentingnya sebuah kasih dan sayang
Peraturan tersebut menyatakan bahwa akan diterapkan pidana penjara maksimum seumur hidup dan denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang masuk kategori korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi.
Tetapi, pelaksanaan GBHN ini bocor lantaran pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.
Organ-organ negara seperti parlemen yang mempunyai fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tidak ada lagi.
Baca Juga: Jokowi: Isinya seperti ini, sedih saya kadang-kadang
Selain itu, lembaga yudikatif juga dibuat serupa oleh rezim orde baru, sehingga tidak ada kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen.
Kekuatan masyarakat sipil juga dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasannya.
Era Reformasi
Setelah masa Orde Baru tumbang, muncullah pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid tersebut, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Gus Dur lalu membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Baca Juga: Sampai H-1 batas akhir, sembilan calon anggota DPR terpilih belum serahkan LHKPN
Saat itu, Gus Dur mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret dalam penegakan hukum korupsi. Pada saat itu, banyak koruptor kelas kakap yang berhasil ditangkap untuk diperiksa dan dijadikan tersangka.
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, ada berbagai kasus korupsi yang muncul dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pada pemerintahan saat itu lantaran banyak BUMN yang ditengarai banyak melakukan korupsi tetapi tidak dapat dituntaskan. Misalnya adalah korupsi di BULOG.
Walupun kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang berwenang mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati lalu membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK).
Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas buntunya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada saat itu. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca Juga: Jokowi: Kita harapkan DPR punya semangat untuk memperkuat KPK
Sebelumnya, anggota Wadah Pegawai KPK Henny Mustika Sari mengatakan, KPK telah menghadapi berbagai upaya pelemahan di berbagai era pemerintahan. Oleh karena itu, ia berharap Presiden Joko Widodo tak membiarkan lembaga antirasuah itu diperlemah lewat revisi Undang-undang tentang KPK.
"Presiden Abdurrahman Wahid merancang KPK, Presiden Megawati Soekarnoputri melahirkan KPK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melindungi KPK. Dan jangan sampai sejarah mencatat KPK mati pada masa Presiden Joko Widodo," kata dia sebagaimana diberitakan Kompas.com (6/9/2019). (Dandy Bayu Bramasta)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Revisi UU KPK, Begini Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia..."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News