Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mulai menghidupkan kembali rencana redenominasi rupiah dengan menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi).
RUU ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029, yang diterbitkan 10 Oktober 2025.
Dalam Renstra tersebut, penyusunan RUU Redenominasi ditargetkan rampung pada 2027 di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb).
Baca Juga: Danantara Gelontorkan Rp371 Triliun untuk Hilirisasi Pertanian, Serap 8 Juta Pekerja
Langkah ini menandai kebangkitan kembali agenda lama yang sempat diajukan pada 2013, namun tertunda tanpa pembahasan lanjutan.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, redenominasi ideal dilakukan saat kondisi makro stabil meliputi inflasi rendah, kurs terkendali, pertumbuhan ekonomi solid, serta situasi sosial politik kondusif.
“Redenominasi berbeda dari pemotongan nilai uang. Tujuannya bukan menurunkan daya beli, melainkan meningkatkan efisiensi dan persepsi positif terhadap rupiah,” ujar Josua, Minggu (9/11/2025).
Menurutnya, penyederhanaan nominal akan memudahkan transaksi, akuntansi, dan edukasi publik, sekaligus menekan potensi salah input harga dan biaya pencetakan uang.
Namun, prosesnya akan panjang dan mahal karena perlu penyesuaian sistem perbankan, mesin EDC, ATM, serta distribusi uang baru.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Akui Target Pajak 2025 Berat Akibat Lesunya Ekonomi
Josua memperkirakan, seluruh tahapan redenominasi bisa memakan waktu 8–11 tahun, terdiri atas tiga fase: persiapan, transisi dengan harga ganda, dan penarikan uang lama.
Pemangkasan tiga nol dinilai paling realistis karena mudah dipahami masyarakat dan tetap memungkinkan keberadaan pecahan kecil.
Ia mengingatkan tiga aspek yang harus diwaspadai: risiko pembulatan harga barang murah, keterlambatan distribusi uang baru, serta persepsi inflasi semu akibat miskomunikasi publik.
"Jika ketiga ranah ini dikelola baik, dampak ekonomi agregat bersifat netral dalam jangka pendek dan cenderung positif dalam jangka panjang melalui efisiensi transaksi, penurunan biaya pencetakan uang, dan perbaikan citra rupiah," tutup Josua.
Selanjutnya: PP 28/2025 Terbit, Investasi Baru Sektor Smelter Nikel Dibatasi
Menarik Dibaca: Tanaman Herbal untuk Obat Sakit Perut, Redakan Nyeri dengan Pengobatan Rumahan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













