kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rencana penerbitan recovery bond dinilai berisiko, ini alasannya menurut Indef


Kamis, 26 Maret 2020 / 17:16 WIB
Rencana penerbitan recovery bond dinilai berisiko, ini alasannya menurut Indef
ILUSTRASI. ilustrasi utang


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah menjajaki rencana penerbitan jenis surat utang baru yang disebut Recovery Bond guna menopang likuiditas keuangan dunia usaha dalam menghadapi dampak wabah Covid-19 di Indonesia saat ini, serta mencegah terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Recovery Bond rencananya akan diterbitkan dalam denominasi rupiah untuk kemudian dibeli oleh Bank Indonesia (BI) atau investor swasta lain sehingga mengalirkan dana segar untuk pemerintah.  Dana dari surat utang tersebut akan disalurkan oleh pemerintah untuk dunia usaha melalui skema kredit khusus. 

Baca Juga: Pemerintah berencana terbitkan Recovery Bond untuk sokong likuiditas korporasi

Ada beberapa potensi risiko yang disoroti oleh Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto terkait wacana penerbitan Recovery Bond tersebut. 

Seperti yang diketahui, Undang-Undang (UU) tentang BI melarang pembelian SBN di pasar perdana sehingga rencana penerbitan Recovery Bond harus ditempuh dengan terlebih dahulu menerbitkan Perppu yang mengubah regulasi tersebut. 

Namun Eko menilai, ada alasan mengapa larangan BI membeli SBN di pasar perdana berlaku yaitu risiko terjadinya risiko lonjakan inflasi. 

“Kalau kemudian BI bisa membeli langsung SUN di pasar perdana, artinya BI menukarkan rupiahnya dengan surat utang sehingga jumlah uang beredar meningkat dan mendorong inflasi,” tutur Eko kepada Kontan.co.id, Kamis (26/3). 

Risiko ini cukup berbahaya di tengah disrupsi supply dan demand barang akibat wabah Covid-19 saat ini. Peran BI dalam menjaga inflasi pada sasaran target sangat penting di tengah terjadinya penurunan produksi, kenaikan permintaan sejumlah barang dan bahan pangan yang memicu kelangkaan. 

Memang, dampak terhadap inflasi menurut Eko akan sangat bergantung pada nilai emisi penerbitan surat utang baru tersebut. “Kalau nilainya puluhan sampai ratusan triliun itu pasti akan berdampak menaikkan inflasi kita,” pungkasnya. 

Risiko selanjutnya ialah terjadinya penyalahgunaan atau moral hazzard dalam pemanfaatan dana hasil penerbitan Recovery Bond tersebut oleh dunia usaha. Pemerintah berencana menyalurkan dana hasil penerbitan kepada korporasi dalam bentuk kredit usaha untuk memberikan tambahan likuiditas. 

Eko memandang, dibutuhkan sistem, mekanisme, dan SOP yang sangat jelas dan ketat dalam penerbitan Recovery Bond maupun penyaluran kredit usaha khusus tersebut untuk memastikan kebijakan ini benar-benar dimanfaatkan secara efektif oleh dunia usaha. 

“Kalau SOP tidak ketat, maka dari mana pemerintah tahu bahwa kredit usaha yang diberikan benar-benar digunakan untuk memutar roda usaha dan bukan digunakan untuk menutup lubang-lubang utang perusahaan yang sudah ada sebelumnya?” tandas Eko. 

Belum lagi, pemerintah mesti jeli dalam menyalurkan kredit usaha ini ke sektor korporasi. Di sisi lain, Eko menilai pemerintah tak memiliki kompetensi untuk menilai apakah suatu perusahaan masih layak diberikan modal dan seberapa besar jumlahnya, serta risiko-risikonya. Jangan pula, kredit usaha ujungnya hanya tersalur pada perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan atau afiliasi tertentu dengan politik dan konglomerasi, kata Eko. 

Baca Juga: Topang APBN, pemerintah kerahkan seluruh instrumen pembiayaan

Oleh karena itu, Eko mengatakan, wacana penerbitan Recovery Bond oleh pemerintah dan penyaluran dana melalui kredit usaha kepada sektor korporasi ini perlu benar-benar melalui pertimbangan dan perhitungan yang matang oleh semua otoritas terkait. 

“Apakah ini benar-benar bisa menggerakkan ekonomi atau justru menimbulkan masalah baru?” tutur Eko. 

Di atas itu semua, Eko menilai pemerintah tetap harus fokus mengerahkan upaya dan pendanaan pada sektor kesehatan untuk penanganan Covid-19 saat ini. 

Narasi untuk melindungi perekonomian memang penting, namun sumber kepercayaan pelaku pasar saat ini tertuju pada seberapa cepat wabah virus bisa tertangani di dalam negeri. 

“Fokus anggaran, realokasi, dan pembiayaan seharusnya satu titik dulu saat ini yaitu bagaimana persoalan Covid-19 ini bisa dikendalikan dan kurva (kasus baru) bisa dilandaikan. Jangan sampai narasi ekonomi mendahului narasi kesehatan,” ujar Eko. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×