kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Reforma agraria masih omong kosong


Selasa, 30 Agustus 2016 / 10:42 WIB
Reforma agraria masih omong kosong


Reporter: Agus Triyono | Editor: Adi Wikanto

Jakarta. Mimpi manis masyarakat kurang mampu untuk bisa memiliki tanah dari redistribusi tanah sembilan juta hektare program reforma agraria yang dijanjikan Jokowi-JK pada masa kampanye lalu menguap tidak jelas.

Sampai dengan Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun kemerdekaanya ke-71 atau dua bulan menjelang usia pemerintahan Presiden Jokowi- JK menginjak dua tahun, janji tersebut masih menjadi omong kosong.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria, belum ada sejengkal tanah pun yang sudah diredistribusikan oleh pemerintah untuk masyarakat dan petani miskin. Pemerintah malah lebih memilih untuk tetap melanggengkan ketimpangan kepemilikan tanah dengan membiarkan 56 % aset tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2% jumlah penduduk yang terdiri dari pengembang dan pengusaha.

Padahal, berdasarkan data komite tersebut, sampai saat ini banyak masyarakat yang membutuhkan tanah tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Masyarakat tersebut salah satunya petani tidak bertanah.

Jumlah mereka, saat ini mencapai sembilan sampai sebelas juta rumah tangga. Selain itu, ada juga petani gurem yang kepemilikan lahan mereka hanya 0,4 hektare saja. Jumlah mereka, saat ini mencapai 27 juta rumah tangga.

Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas pekan lalu pun mengakui dua kelompok masyarakat tersebut perlu mendapat perhatian dalam mendapatkan akses tanah. Mereka memiliki pendapatan rendah. Mereka, rentan terhadap kenaikan harga pangan.

Dia karena itu memerintahkan menterinya untuk segera melaksanakan reforma agraria untuk menyentuh masyarakat tersebut. "Saya harap ini bisa menjadi cara baru mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, khususnya di desa," katanya saat membuka Rapat Terbatas tentang Reforma Agraria pekan lalu.

Namun sampai rapat terbatas berakhir, ternyata reforma agraria yang diharapkan tidak sesuai harapan. Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang mengatakan, poin penting yang menjadi keputusan rapat hanyalah percepatan proses sertifikasi tanah.

Pemerintah ingin, sampai 2019, 20 juta sertifikat tanah bisa diterbitkan. Untuk melaksanakan upaya tersebut mereka akan mengeluarkan kebijakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terutang untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan sertifikat tanah.

Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, putusan tersebut menunjukkan, sebenarnya pemerintah tidak punya konsep jelas dalam menjalankan reforma agraria yang mereka telah janjikan. Putusan tersebut juga menunjukkan, pemerintah gagal dalam memahami pengertian reforma agraria sebenarnya.

"Sertifikasi bukan reforma agraria, itu hanya bagian terkecil, reforma agraria itu memperluas penguasaan tanah kecil atas tanah sehingga mereka bisa hidup sejahtera secara berkelanjutan," katanya.

Atas masalah itulah Iwan mengatakan, pemerintah perlu mereformulasi program reforma agraria mereka dengan mendistribusikan lahan ke masyarakat dan petani kurang mampu. Banyak celah yang bisa dilakukan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Salah satunya, mengambil alih hak guna usaha tanah yang sudah habis dan tidak sesuai luas dan memberikannya kepada masyarakat. "Jalankan secara secara serius, waktu 2,5 tahun tersisa cukup untuk membuktikan janji pemerintah," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×