Reporter: Handoyo | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menargetkan dalam waktu kurang dari 15 tahun seluruh tanah yang ada di Indonesia bisa tersertifikasi. Saat ini, tanah yang telah tersertifikat baru sekitar 50% dari total luasan yang ada.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil mengatakan, untuk merealisasikan sertifikasi ini, pada tahap awal BPN telah bekerjasama dengan tiga daerah yakni DKI Jakarta, Surabaya dan Batam untuk memberikan insentif dalam pengurusan sertifikasi tanah bagi warganya. "Setiap jengkal tanah di Republik ini harus terdaftar dan tersertifikasi," kata Sofyan, akhir pekan lalu.
Insentif yang dimaksud itu salah satunya adalah keringanan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari nilai jual objek pajak. Untuk DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berjanji untuk membebaskan pembayaran BPHTB bagi penduduk yang nilai tanah di bawah Rp 2 miliar.
Dengan cara ini Sofyan optimistis pada pertengahan tahun depan seluruh tanah yang ada di DKI Jakarta akan tersertifikasi seluruhnya. "Jadi 100% lahan di Jakarta akan teregistrasi dan sertifikasi mulai tahun ini, dan mudah-mudahan pertengahan tahun 2017 sudah oke seluruhnya," imbuhnya.
Catatan saja, luas DKI Jakarta 661,52 kilometer persegi (km²), dimana sekitar 6.977 km² berupa lautan. Dari jumlah itu, sekitar 20,64% wilayah DKI Jakarta belum memiliki sertifikat. Sebagian besar terdapat di Jakarta Timur yakni sekitar 119.527 bidang tanah, wilayah Jakarta Selatan sekitar 50.207 bidang tanah, Jakarta Utara – Kepulauan Seribu sekitar 49.326 bidang tanah, Jakarta Pusat sekitar 38.886 dan Jakarta Barat sekitar 34.709 bidang tanah.
Untuk kota lainnya, pembayaran BPHTB bisa dilakukan dengan sistem piutang. Sehingga, pembayaran BPHTB akan ditagih ketika tanah yang bersangkutan akan dijual.
Dengan berbagai upaya yang akan dilakukan itu, BPN menargetkan pada tahun 2019 minimal 20 juta sertifikat baru bisa diterbitkan.
Terbatasnya jumlah juru ukur juga menjadi penyebab lambannya proses sertifikasi. Oleh karenanya, Kementerian ATR/BPN akan mengeluarkan lisensi bagi juru ukur. Dengan demikian, dalam dua tahun mendatang jumlah juru ukur yang bersertifikat dan tersumpah bisa mencapai 5.000 orang-6.000 orang.
Ketua Umum REI Eddy Hussy mengatakan, upaya pemerintah yang memberikan insentif pembayaran BPHTB untuk mendorong sertifikasi lahan patut diapresiasi. "Saya pikir itu terobosan yang baik bagi masyarakat yang sangat tidak mampu dan punya lahan tapi ingin disertifikatkan," kata Eddy.
Terkait dengan beban pajak yang nanti harus dibayarkan oleh pihak pembeli, Eddy mengatakan hal itu nanti bisa dibicarakan lebih lanjut. Oleh karena itu, pemerintah harus bijak agar tidak membebani salah satu pihak.
Reforma agraria ditagih
Selain mempercepat sertifikasi tanah bagi masyarakat, Kementerian ATR/BPN juga akan mengeluarkan kebijakan bagi lahan-lahan yang berstatus sebagai lahan sengketa. Nantinya, Kementerian ATR/BPN akan memberi perlakuan khusus, yakni tanah tersebut dapat digunakan untuk kepentingan umum sampai status putusan sengketanya memiliki kejelasan sehingga tidak ada tanah terlantar.
Pengelolaannya akan diserahkan kepada pemerintah provinsi untuk digunakan sebagai taman, ruang hijau atau lokasi bagi pedagang kecil.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, program sertifikasi tanah ini merupakan kelanjutan menteri ATR sebelumnya. Program ini dinilai sekadar kebijakan administratif dari pemerintah kepada para pemilik lahan.
Padahal kebijakan yang ditunggu masyarakat adalah melaksanakan reforma agraria kepada masyarakat yang tak memiliki tanah. "Program Reforma agraria telah menjadi janji presiden, sampai sekarang tidak jelas kapan akan dilaksanakan," kata Iwan. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News