Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
"Kolaborasi yang harus dibangun tidak hanya untuk efisiensi saja, bukan hanya pelaksanaan program. Kita harus punya konsensus menyesuaikan region per region (wilayah per wilayah)," kata Jo.
Baca Juga: BTN targetkan outstanding KPR Gaess capai Rp 7 triliun di akhir tahun ini
Pertama, melakukan identifikasi masalah mengapa dengan sistem penyediaan rumah yang ada, rumah yang layak semakin tidak terjangkau bagi sebagian besar anggota masyarakat.
Terutama harus diketahui keterkaitan sistem penyediaan perumahan dengan sistem produksi dan reproduksi serta sistem metabolisme kota.
Kedua, berdasarkan analisisnya terhadap kemampuan para stakeholder dan potensi daerah disatu pihak dan kebutuhan spesifik kelompok masyarakat yang membutuhkan rumah dilain pihak, perlu dikembangkan model-model penyediaan perumahan dengan tujuan menjabarkan secara rinci apa yang harus dilakukan untuk dapat menyediakan komponen perumahan yang dibutuhkan.
Baca Juga: Harga baru rumah subsidi tak jelas, REI: 5.000 pengembang berhenti operasi
Komponen itu terbagi menjadi komponen tanah, bangunan rumah, infrastruktur, fasilitas, pendanaan dan sumber daya manusia.
Ketiga, menganalisa dari bawah ke atas dengan melakukan identifikasi stakeholder yang terlibat dalam setiap model penyediaan perumahan dan menyusun kerangka kolaborasi berdasarkan konsensus antara semua pihak.
Selain itu, analisa dari atas ke bawah dengan mengidentifikasi keterkaitan setiap model dengan sistem metabolismus kota, sistem produksi dan reproduksi. Serta membuat daftar dari proses "diskoppeling" yang perlu dilakukan untuk mendirikan sistem penyediaan perumahan yang otonom.
Baca Juga: Kementerian PUPR: Jumlah backlog rumah capai 7,6 juta unit per 8 Maret 2019
"Aktor utama dari pembangunan dan pengelolaan perumahan itu adalah daerah. Selama Indonesia belum bisa mendesentralisir sistem perumahannya di daerah, kita tidak akan selesai dengan masalah perumahan kita," tutur Jo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News