Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengatakan, ada kecenderungan setiap pelaku tindak pidana korupsi kelas kakap untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.
Modus cuci uang yang dilakukannya bisa berupa penempatan uang tunai ke dalam sistem perbankan (placement), atau mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem perbankan (layering).
“Koruptor kakap itu pasti melakukan pencucian uang, itu sudah pasti, karena uangnya kan banyak, itu mau ditaruh di mana. Mereka itu koruptor, kejahatannya punya motif ekonomi, maka itu prosesnya melakukan placement, layering, karena motifnya ekonomi, maka koruptor ini harus dimiskinkan,” kata Agus di Jakarta, Senin (28/10/2013).
Menurut Agus, seorang tersangka kasus dugaan korupsi sudah bisa diduga melakukan tindak pidana pencucian uang jika diketahui mencoba mengalihkan atau menyamarkan kepemilikan hartanya. Misalnya, dengan mengatasnamakan orang rumah, mobil mewah, atau perusahaannya.
“Itu sudah salah satu ciri namanya proses layering,” ujar Agus.
Dia menambahkan, pelaku juga kerap menggunakan perusahaan yang dimilikinya sebagai sarana untuk cuci uang.
Dalam kasus dugaan korupsi kepengurusan sengketa pemilihan kepala daerah contohnya, PPATK sudah menduga kalau salah satu tersangka kasus itu, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif, Akil Mochtar melakukan pencucian uang. PPATK telah melaporkan transaksi mencurigakan Akil kepada KPK sejak 2012.
Bahkan, PPATK telah mengantongi transaksi Akil sejak 2010. Kini, KPK pun menetapkan Akil sebagai tersangka pencucian uang terkait dugaan korupsi yang dilakukan mantan hakim konstitusi itu.
“Nah kalau sudah dilaporkan PPATK dalam bentuk laporan hasil analisis, artinya PPATK sudah menduga kuat bahwa yang bersangkutan itu melakukan pencucian uang dengan tindak pidana asal hasil dari korupsi,” kata Agus.
Menurutnya, nilai transaksi mencurigakan Akil yang terdeteksi PPATK sejak 2010, mencapai Rp 100 miliar.
“Nah tentu setelah itu kita serahkan ke KPK nanti KPK akan mempelajari itu, dan kami selalu berkoordinasi sangat baik dengan KPK,” ucapnya.
Harus dimiskinkan
Agus juga menilai kalau pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan pencucian uang harus dimiskinkan. Caranya, dengan tuntutan komulatif antara tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan tindak pidana pencucian uang.
“Karena di Undang-Undang TPPU Pasal 77-78 ini bisa pembuktian terbalik di proses persidangan, dan ini sudah dilakukan beberapa kali. Jaksa KPK itu sudah berhasil, kejaksaan juga sudah berhasil melaksanakan proses pembuktian terbalik,” ujarnya.
Dengan demikian, lanjutnya, harta si pelaku bisa dirampas negara jika dia tidak bisa membuktikan kalau hartanya itu berasal dari sumber yang sah.
“Jadi bukan hanya untuk dihukum berat, tapi hartanya dirampas untuk negara,” ucap Agus. (Icha Rastika/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News