Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Korupsi, baik di pemerintahan pusat maupun daerah sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam riset Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2011-2013 misalnya, ditemukan tipologi korupsi pemerintah daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan menggunakan birokrasi.
“Atasan selalu memanfaatkan bawahannya, stafnya, bendahara, bupati, kepala dinas, kepala kantor dan seterusnya. Itulah urutan korupsi di daerah. Bawahan selalu dimanfaatkan atasannya,” ujar Wakil Ketua PPATK Agus Santoso dalam diskusi ‘Suap kepala daerah, rakyat makin menderita’ bersama Ketua PPUU DPD RI I Wayan Sudirta, dan pakar komunikasi UMB Heri Budianto di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Jumat (25/10/2013).
Menurutnya, untuk mencegah terjadinya korupsi, PPATK sedang mengusulkan pembatasan transaksi keuangan secara tunai ke Prolegnas. Transaksi tunai hanya Rp 100 juta, dan lebih dari Rp 100 juta, maka harus melalui perbankan.
Selain untuk mencegah korupsi, juga untuk mengurangi beredarnya uang palsu, sekaligus sebagai antisipasi terhadap ancaman asing dan beredarnya dollar di Indonesia.
Agus mengatakan, peluang korupsi porsinya untuk pemerintah daerah 1,6 kali lipat, sedangkan pemerintah pusat 1,1 kali lipat.
“Modusnya biasanya terjadi di pengadaan barang dan jasa, kewenangan perizinan, penerimaan daerah (retribusi-pajak), mark up, dan calo. Persentasenya sebesar 67%, 54% di pemerintahan daerah, dan 13% pusat,” ujar Agus.
Mengenai, daerah mana saja yang korupsinya tergolong besar? Menurut Agus, tingkat korupsi di daerah yang masuk zona merah antara lain DKI Jaya terbesar (Pemda DKI signifikan), Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dll.
Khusus untuk ancaman dari luar, ujar Agus, yaitu banyaknya buronan interpol Indonesia yang lari ke Singapura, Malaysia, Papua Nugini, Australia, Swiss, dan negara lainnya.
“Mereka di negara-negara itu mendapat kewarganegaraan, bahkan diberi KTP dan fasilitas lainnya, karena hanya melarikan uang korupsinya dengan membeli rumah, investasi, dan sebagainya. Ini ancaman asing yang harus diantisipasi menjelang pasar bebas Asean (Asean Economic Committee) pada 2014,” ungkap Agus. (Tribunnews.com)
Ilustrasi: Shutterstock
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News