Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Di tengah dorongan pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara, segmen influencer dan content creator dinilai memiliki potensi yang sangat besar.
Namun, sayangnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dinilai belum mampu mengoptimalkan kontribusi dari sektor yang terus tumbuh pesat ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kreator digital di Indonesia meningkat tajam seiring pertumbuhan pengguna media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Instagram.
Banyak dari mereka kini menjadikan platform digital sebagai sumber penghasilan utama, bahkan tak sedikit yang meraih pendapatan hingga miliaran rupiah per tahun.
Baca Juga: Sudah Pertengahan 2025, Aturan Perpanjangan PPh Final UMKM Masih Menggantung
Berdasarkan data DJP yang diterima KONTAN, pada 2017 lalu pemerintah mendapatkan penerimaan pajak senilai Rp 27 miliar dari 51 pelaku social media influencer. Mereka ini termasuk vloger, youtuber dan selebgram.
Sayangnya, hingga saat ini belum diketahui seberapa besar peningkatan penerimaan pajak yang sudah didapatkan pemerintah dari para influencer dan content creator ini.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengaku bahwa DJP telah melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap para influencer hingga content creator terkait pelaporan perpajakannya.
Namun, keterbatasan klasifikasi data dan struktural sektoral membuat penarikan data penghasilan para influencer menjadi tantangan tersendiri.
"Apakah kemudian kita pernah melakukan pengawasan atau pemeriksaan terhadap para influencer? Saya bisa pastikan sudah pernah dilakukan juga, karena memang ada catatannya," ujar Yon dalam diskusi publik di Hotel Ashley Wahid Hasyim, Selasa (27/5).
Menurutnya, Otoritas Pajak memang memiliki tugas untuk memastikan apa yang dilaporkan dan disetorkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hanya aja, identifikasi profesi influencer kerap kali tumpang tindih karena seseorang bisa berstatus sebagai ASN atau pegawai swasta, namun juga menjalani aktivitas sebagai influencer.
Hal ini menyulitkan proses pemetaan dan pelaporan secara spesifik. Apalagi kata Yon, profesi influencer belum memiliki Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tersendiri.
"Tapi kita tidak spesifik meng-address harus si influencer ini A, B, C. Karena setiap orang yang ditemukan datanya, kemudian ternyata berbeda dengan yang dilaporkan di SPT, tentu harus kita follow up. Follow up-nya itu ya bertahap, mulai dari soft dulu, kita lakukan verifikasi, klarifikasi, baru tindakan-tindakan yang lain," jelasnya.
Meski begitu, Yon menegaskan bahwa prinsip perpajakan tetap berlaku secara umum, yakni sepanjang penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), maka tetap harus membayar pajak sesuai tarif yang berlaku.
Baca Juga: Pemerintah Akan Naikkan Pajak Rumah Tapak, REI: Tidak Bijak
"Apapun profesinya, ya mau pegawai negeri, pekerja, influencer, pengusaha, sepanjang omzet atau penghasilan dia di atas PTKP, ya bayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan tarif yang ada," tegas Yon.
Direktur Eksekutif IEF Research Institite Ariawan Rahmat menilai bahwa saat ini memang belum ada yang spesifik menyebut KBLI khusus dengan istilah influencer. Namun, ini bukan berarti profesi tersebut belum memiliki dasar hukum untuk pengenaan pajaknya.
"Dalam sistem perpajakan Indonesia yang menganut prinsip self assessment, subjek pajak dikenai pajak berdasarkan penghasilan yang diperolehnya, bukan berdasarkan KBLI," kata Ariawan kepada Kontan.co.id, Senin (9/6).
Ia menilai, ketiadaan KBLI khusus untuk profesi influencer memang akan menyulitkan klasifikasi dan pengelompokan wajib pajak. Tanpa KBLI khusus, DJP kesulitan mengelompokkan dan membuat profil resiko untuk pengawasan berbasis sektor/subsektor.
"Jadi, tidak ada salahnya juga jika ada KBLI khusus," jelasnya.
Di sisi lain, perlakuan pajak terhadap influencer bisa disesuaikan dengan bentuk usaha dan karakteristik penghasilan yang mereka peroleh.
Bagi influencer yang berstatus orang pribadi, maka sesuai dengan UU PPh No. 36/2008, seluruh penghasilan, baik dari dalam maupun luar negeri, wajib dilaporkan. Ini mencakup pendapatan dari endorsement, afiliasi, monetisasi konten, hingga barter produk.
Jika omzet influencer kurang dari Rp 500 juta per tahun, maka dapat memanfaatkan skema PPh Final UMKM sesuai PP 55/2022 dengan tarif 0,5%. Namun, skema ini hanya berlaku maksimal selama tiga tahun sejak terdaftar.
"Jika omzet di atas Rp 500 juta per tahun atau sudah melewati tiga tahun maka beralih ke skema PPh berdasarkan pembukuan dengan tarif progresif 5%-35% tergantung lapisan penghasilan kena pajak mereka," jelasnya.
Selain itu, bentuk penghasilan dalam bentuk barang atau barter juga tetap dikenai pajak dan harus dinilai berdasarkan harga pasar atau fair value.
Lebih lanjut, Ariawan mengungkapkan bahwa sebagian influencer kini telah menjalankan aktivitasnya dalam bentuk badan usaha seperti PT, CV, atau firma. Biasanya mereka sudah memiliki tim produksi, manajemen iklan, hingga divisi pemasaran.
Dengan demikian, skema pajaknya menggunakan skema tarif PPh Badan sebesar 22% untuk laba kena pajak, atau dapat menggunakan fasilitas penghasilan bruto tertentu jika memenuhi kriteria UMKM.
Tak hanya itu, influencer berbentuk badan juga wajib memotong dan menyetor PPh 21/23 untuk karyawan atau rekanan mereka, serta membayar PPN jika omzet melewati ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP), yakni Rp 500 juta per bulan atau Rp 4,8 miliar per tahun.
Menurut Ariawan, potensi pajak dari sektor digital sangat besar dan belum tergarap optimal, apalagi di era kecerdasan buatan (AI).
Mengacu pada data We Are Social 2024, terdapat lebih dari 30 juta pengguna aktif Instagram dan TikTok di Indonesia yang memenuhi kriteria monetisasi.
Berdasarkan perhitungannya, jika hanya 1 juta di antaranya yang benar-benar memperoleh penghasilan dan masing-masing berpenghasilan Rp 60 juta per tahun, maka potensi PPh tahunan bisa mencapai Rp 3 triliun hingga Rp 5 triliun.
"Ini belum termasuk dari PPN dan multiplier effect lainnya," pungkasnya.
Selanjutnya: Harga Melejit Ratusan Persen! Saham FORE Masuk Radar UMA BEI
Menarik Dibaca: BCA Hadirkan Layanan Transaksi Mata Uang Won Korea Selatan (KRW), Berikut Promonya!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News