Reporter: Venny Suryanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah pandemi Covid-19, kondisi manufaktur Indonesia masih tergeliat meski dengan laju yang lebih lambat di bulan Juli 2020. Hal ini berdasarkan hasil survei dari Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari IHS Markit yang berada di level 46,9 pada bulan Juli 2020.
Indeks Manufaktur yang tercatat pada bulan Juli 2020 ini naik 7,8 poin dari indeks pada bulan Juni 2020 yang berada di level 39,1. Sayangnya, data terbaru juga masih menunjukkan kalau industri manufaktur tanah air masih berada di bawah level ekspansif, alias masih di bawah 50,0.
Baca Juga: Daftar enam negara dunia yang terperosok ke jurang resesi
Dalam keterangan resminya, IHS Markit menyebut, industri manufaktur yang belum ekspansi terjadi karena produsen barang di Indonesia masih mengalami dampak dari pandemi Covid-19. Sehingga, perusahaan enggan berinvestasi untuk kapasitas baru, dengan keadaan lapangan kerja yang semakin menurun dan aktivitas pembelian berkurang.
Adapun, headline PMI pada Juli 2020 menunjukkan angka tertinggi sejak bulan Februari lalu. Level itu juga merupakan penurunan lebih lanjut pada output bulan Juli 2020 dan tingkat penurunan paling lambat selama lima bulan.
“Volume produksi yang lebih rendah sering dikaitkan dengan dampak buruk pandemi Covid-19 pada permintaan. Di mana pertumbuhan output dilaporkan, maka perusahaan manufaktur akan lakukan pembukaan kembali pabrik secara bertahap akibat kebijakan kegiatan yang dilonggarkan,” kata IHS Markit dalam keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Senin (3/8).
Sementara itu, dengan langkah-langkah bertahap yang dilakukan pemerintah untuk memulai kembali perekonomian juga menyebabkan menurunnya permintaan secara keseluruhan. Adapun, penurunan secara keseluruhan turut terbebani oleh penurunan besar dalam penjualan ekspor.
Tak hanya penurunan permintaan yang menurun tajam, beban biaya rata-rata juga meningkat tajam pada bulan Juli 2020 akibat inflasi yang juga menyebabkan melemahnya rupiah dan kenaikan harga bahan baku.
“Peningkatan biaya sebagian dibebankan ke pelanggan melalui harga jual yang lebih tinggi,” tambahnya.
Baca Juga: Pertumbuhan ekonomi dan kinerja emiten akan menjadi fokus pelaku pasar
Dengan menurunnya output pada Juli 2020, sebagian upaya untuk menghemat biaya, perusahaan terus mengurangi kegiatan pembelian mereka dan cenderung lebih memilih untuk memanfaatkan investasi sebisa mungkin saat ini untuk memenuhi permintaan produksi.
Demikian juga, rantai pasokan yang masih di bawah tekanan pada Juli 2020 akibat adanya pembatasan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan terus menghambat vendor untuk melakukan pengiriman.
“Produsen juga menyoroti kekurangan pasokan dan kurangnya layanan transportasi yang memadai,” tuturnya.
Sehingga, perusahaan Indonesia optimistis mempertahankan proyeksi positif mereka di tahun depan. Mereka berharap adanya kenaikan output selama 12 bulan ke depan.
Optimisme itu terdorong dengan harapan situasi Covid-19 akan membaik dalam beberapa bulan mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News