kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perusahaan kosmetik masih temui sederet tantangan investasi hijau di Indonesia


Minggu, 01 Maret 2020 / 10:37 WIB
Perusahaan kosmetik masih temui sederet tantangan investasi hijau di Indonesia
ILUSTRASI. Lush Cosmetics' Director for Sourcing Hub Indonesia Panut Hadisiswoyo


Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konsep investasi hijau (green investment) atau investasi ramah lingkungan telah dicanangkan oleh pemerintah pada Kamis (27/2) lalu di Sorong, Papua Barat. Konsep investasi ramah lingkungan ini menuai sambutan hangat dari berbagai pihak serta didukung oleh banyak fasilitator.

Investasi hijau yang akan digalakkan khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat ini akan mengembangkan empat komoditas unggulan, yaitu kakao, kopi, pala, serta rumput laut. Berbagai calon investor dari perusahaan ternama berdondong-dondong datang untuk mengukur sejauh mana investasi ini dapat menjanjikan di masa yang akan datang, tak terkecuali Lush Cosmetics.

Baca Juga: Wow, Starbucks dikabarkan setuju beli bahan baku dari Papua Barat?

Lush Cosmetics' Director for Sourcing Hub Indonesia Panut Hadisiswoyo membeberkan, selama ini pihaknya memang telah banyak mengimpor bahan baku untuk produk kecantikan dari berbagai daerah di Indonesia. Beberapa bahan baku dari Indonesia yang digunakan oleh Lush adalah virgin coconut oil (VCO), minyak bunga tengkawang yang diproses menjadi illipe butter, serta tumbuhan nilam.

Di luar itu, Lush Cosmetics ingin mencicipi investasi hijau pada komoditas kakao serta kopi. Namun, Lush masih ingin mempelajari lebih lanjut berbagai tantangan dari investasi ini, yang mungkin akan mereka hadapi di masa mendatang.

"Ada banyak produk lainnya yang sebenarnya Lush pakai tapi belum berasal dari Indonesia, seperti kakao, kopi, kenanga, kemudian ada cendana. Artinya banyak komoditas yang sebenarnya berpotensi, tetapi memang Indonesia masih punya kendala dengan kemampuan produktivitas dari kelompok petani," ujar Panut di Sorong, Kamis (27/2).

Panut melanjutkan, untuk melakukan impor komoditas pada sebuah wilayah, Lush memiliki peraturan yang mesti dipatuhi oleh negara asal, yaitu mengedepankan kesejahteraan petani.

Untuk berinvestasi, Lush lebih memilih untuk membidik kebun rakyat ketimbang perusahaan-perusahaan besar ataupun agen. Hal ini karena Lush ingin memberdayakan petani dengan membeli produknya secara langsung, dengan begitu diharapkan investasi ini dapat memberikan manfaat yang optimal pada masyarakat setempat.

Sebagai perusahaan kosmetik yang menggunakan bahan-bahan alami serta resep 'vegetarian' pada setiap produknya, tentu hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipertahankan dengan baik.

"Lush ingin memberdayakan rakyat dengan membidik komunitas yang memang mengembangkan komoditas itu, makanya kami termasuk buying team Lush di United Kingdom (UK) itu mencari peluang-peluang dari kebun rakyat yang memang diharapkan dapat memberi manfaat optimal ke masyarakat setempat," lanjutnya.

Kedatangan Panut pada acara High Level Meeting on Green Investment for Papua and West Papua di Sorong, adalah untuk memastikan keadaan rantai pasokan (supply chain) dari komoditas kokoa di wilayah Papua dan Papua Barat. Hal ini penting untuk menakar sejauh mana ia dapat memutuskan apakah Lush memang cocok mengimpor komoditas kakao dari Papua dan Papua Barat.

Tak hanya itu, Panut juga turut menimbang berbagai tantangan lain yang dihadapi oleh para petani di Papua dan Papua Barat, di mana tantangan terebut dirasa belum bisa diatasi secara optimal. Beberapa contohnya adalah penanganan penyakit pada kakao yang dapat menurunkan produktivitas, serta kepastian kepemilikan lahan yang terkait dengan hak ulayat dan sebagainya.

"Saya ingin mendorong Lush agar bisa menggunakan biji kakao dari Indonesia, terutama di Papua dan di Aceh. Jadi ini yang sedang kami garap, mudah-mudahan dengan potensi dan dengan komitmen pemerintah dalam pertemuan ini, dapat meyakinkan kami bahwa keberlanjutan supply chain untuk kakao itu ada, sehingga kami bisa yakin," jelasnya.

Sebagai ilustrasi, berdasarkan data yang dihimpun dari Direktorat Jenderal Perkebunan, estimasi angka produksi kakao di Indonesia pada tahun 2019 lalu mencapai 596.477 ton, atau meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 593.833 ton.

Baca Juga: Pemerintah berkomitmen sejahterakan Papua dan Papua Barat melalui green investment

Namun begitu, angka produksi kakao yang dihimpun dari masing-masing Provinsi Papua dan Papua Barat di tahun 2019 lalu adalah sebanyak 8.929 ton dan 3.684 ton. Jika dijumlahkan, maka produksi kakao tahunan dari kedua provinsi tersebut hanyalah mencapai 12,613 ton.

Sementara, Lush Cosmetics menggunakan sebanyak 500 ton cocoa beans/tahun untuk melakukan produksi pada beberapa produknya. Meskipun Lush dapat mengimpor jumlah sisanya dari negara lain, tetapi tentu hal ini menjadi perhatian khusus bagi pihak Lush untuk memastikan apakah nantinya investasi ini dapat memastikan supply chain dapat terpenuhi atau tidak.

"Kami ingin memastikan bahwa saat mengambil biji kakao dari wilayah Papua sudah dipastikan ada keberlangsungan produksi. Jika tidak ada, pasti akan membuat investor ragu, karena kan membuat dan memformulasikan produk itu harus dengan sumber yang memang berkelanjutan, kalau tidak ada kan pasti akan mengganggu supply chain," ungkap Panut.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peluang investasi pada komoditas kakao dan kopi di Indonesia memiliki potensi yang besar, apalagi didukung dengan pangsa pasar Indonesia yang juga menjanjikan. Walaupun nantinya pemerintah juga berencana memberikan insentif bagi para investor, tetapi keputusan investasi ramah lingkungan tentu menimbulkan dilema tersendiri bagi pelaku usaha.

Untuk saat ini, Panut belum tahu kelanjutan dari rencana investasi ramah lingkungan di Papua dan Papua Barat ini akan seperti apa. Pasalnya, ia masih ingin menjajaki keberlanjutan dari supply chain di wilayah ini, serta bagaimana pola investasi hijau ini akan diterapkan nantinya.

Lebih lanjut, Panut mengungkapkan satu hal lagi yang menjadi tantangan untuk melakukan investasi pada komoditas kakao di Indonesia, yaitu tidak adanya sertifikasi fair trade untuk komoditas ini. Namun, bila memungkinkan bisa saja persyaratan ini ditangguhkan oleh pihak Lush, asalkan pada saat praktiknya nanti akan dilakukan pendampingan untuk memastikan prosesnya tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.

"Sebenarnya Lush ini menggunakan fair trade certification for cocoa beans dan di Indonesia belum ada, bahkan hampir tidak ada verify certificate cocoa beans itu. Ini juga menjadi salah satu tantangan bagi produksi biji kakao di Indonesia, karena kan kita memang belum sertifikasi itu kebanyakan," jelasnya.

Sebagai sourcing hub di Indonesia, Panut bertanggung jawab untuk memastikan sourcing di Indonesia memang traceable, responsible, dan sustainable.

"Tapi Lush mencoba untuk menyesuaikan, bila memungkinkan nanti saat praktik ada pendampingan yang bisa menjadi justifikasi agar tidak perlu ada sertifikasi fair trade. Tapi praktiknya itu memang harus benar-benar didampingi supaya tidak ada hal-hal yang menyebabkan kerusakan lingkungan," kata Panut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×