Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Herlina Kartika Dewi
Tak hanya itu, Panut juga turut menimbang berbagai tantangan lain yang dihadapi oleh para petani di Papua dan Papua Barat, di mana tantangan terebut dirasa belum bisa diatasi secara optimal. Beberapa contohnya adalah penanganan penyakit pada kakao yang dapat menurunkan produktivitas, serta kepastian kepemilikan lahan yang terkait dengan hak ulayat dan sebagainya.
"Saya ingin mendorong Lush agar bisa menggunakan biji kakao dari Indonesia, terutama di Papua dan di Aceh. Jadi ini yang sedang kami garap, mudah-mudahan dengan potensi dan dengan komitmen pemerintah dalam pertemuan ini, dapat meyakinkan kami bahwa keberlanjutan supply chain untuk kakao itu ada, sehingga kami bisa yakin," jelasnya.
Sebagai ilustrasi, berdasarkan data yang dihimpun dari Direktorat Jenderal Perkebunan, estimasi angka produksi kakao di Indonesia pada tahun 2019 lalu mencapai 596.477 ton, atau meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 593.833 ton.
Baca Juga: Pemerintah berkomitmen sejahterakan Papua dan Papua Barat melalui green investment
Namun begitu, angka produksi kakao yang dihimpun dari masing-masing Provinsi Papua dan Papua Barat di tahun 2019 lalu adalah sebanyak 8.929 ton dan 3.684 ton. Jika dijumlahkan, maka produksi kakao tahunan dari kedua provinsi tersebut hanyalah mencapai 12,613 ton.
Sementara, Lush Cosmetics menggunakan sebanyak 500 ton cocoa beans/tahun untuk melakukan produksi pada beberapa produknya. Meskipun Lush dapat mengimpor jumlah sisanya dari negara lain, tetapi tentu hal ini menjadi perhatian khusus bagi pihak Lush untuk memastikan apakah nantinya investasi ini dapat memastikan supply chain dapat terpenuhi atau tidak.
"Kami ingin memastikan bahwa saat mengambil biji kakao dari wilayah Papua sudah dipastikan ada keberlangsungan produksi. Jika tidak ada, pasti akan membuat investor ragu, karena kan membuat dan memformulasikan produk itu harus dengan sumber yang memang berkelanjutan, kalau tidak ada kan pasti akan mengganggu supply chain," ungkap Panut.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peluang investasi pada komoditas kakao dan kopi di Indonesia memiliki potensi yang besar, apalagi didukung dengan pangsa pasar Indonesia yang juga menjanjikan. Walaupun nantinya pemerintah juga berencana memberikan insentif bagi para investor, tetapi keputusan investasi ramah lingkungan tentu menimbulkan dilema tersendiri bagi pelaku usaha.
Untuk saat ini, Panut belum tahu kelanjutan dari rencana investasi ramah lingkungan di Papua dan Papua Barat ini akan seperti apa. Pasalnya, ia masih ingin menjajaki keberlanjutan dari supply chain di wilayah ini, serta bagaimana pola investasi hijau ini akan diterapkan nantinya.
Lebih lanjut, Panut mengungkapkan satu hal lagi yang menjadi tantangan untuk melakukan investasi pada komoditas kakao di Indonesia, yaitu tidak adanya sertifikasi fair trade untuk komoditas ini. Namun, bila memungkinkan bisa saja persyaratan ini ditangguhkan oleh pihak Lush, asalkan pada saat praktiknya nanti akan dilakukan pendampingan untuk memastikan prosesnya tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.