Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan sikap pemerintah terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang cenderung fokus ke kuantitas alias angka, alih-alih keberhasilan dan keberlanjutan kualitas gizi.
Hal itu disampaikan Ketua YLKI Niti Emiliana dalam konferensi pers Rapor Merah Sistem Keamanan Pangan di Indonesia, Jumat (17/10/2025). Menurutnya, selama ini sorotan terhadap program MBG besutan Presiden Prabowo Subianto kurang menyentuh esensi pelaksanaan program.
“Saya melihat pencapaian indikator keberhasilan MBG itu lebih ke arah kuantitas. Berapa persen serapan anggarannya, berapa persen penerima manfaatnya. Lalu yang paling fatal saat bicara kasus keracunan, dibuat sebatas statistik. Itu kan sebatas kuantitas,” ungkap Niti.
Baca Juga: Serapan Anggaran Program MBG Masih Seret, Kasus Keracunan Kembali Terjadi
Alih-alih secara angka, Niti bilang, indikator keberhasilan program MBG perlu mengukur efektivitas dan efisiensi kualitas pangan yang disalurkan, serta keberlanjutan pemahaman gizi oleh penerima manfaat.
Pasalnya, esensi awal Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana program adalah meningkatkan status gizi. Namun, Niti menyoroti alur pelaksanaan MBG yang bahkan tak mencakup perhitungan status gizi sebelum dan selama program berlangsung.
Pun, meski MBG disebutkan sebagai program peningkatan gizi yang berkelanjutan, tak ada edukasi yang dapat memfasilitasi pengetahuan gizi para penerima manfaat untuk memastikan pemenuhan gizi pasca program.
“Edukasi standar gizi, perilaku makan, itu diperlukan sehingga ketika program selesai, keberlanjutan itu terwujud. Meski tidak lagi menjadi penerima program, kesejahteraan dan kesehatan itu bisa diupayakan sendiri oleh masyarakat,” kata Niti.
YLKI tak menampik bahwasannya pemantauan secara kuantitas juga diperlukan. Misalnya, terkait realisasi anggaran MBG yang per 3 Oktober 2025 lalu baru mencapai 23% dari total pagu Rp 71 triliun yang disiapkan. Namun, implikasi terhadap kualitas tetap perlu menjadi fokus.
“Serapan anggaran ini kaitannya dengan pelaksanaan di lapangan. Kalau serapannya bagus, di lapangan pelaksanaannya seharusnya efektivitas dan efisien, sehingga barulah pertanyaannya bisa fokus ke penyerapan anggaran,” kata Niti.
Baca Juga: BGN Perintahkan SPPG Siapkan Dua Jenis Lauk Setiap Hari untuk Menu MBG
Menurut Niti, karut-marut program MBG hingga saat ini pada dasarnya disebabkan oleh absensi regulasi sebagai payung hukum dan acuan pelaksanaan (petunjuk teknis dan lapangan).
Untuk diketahui, pasca berjalan selama kisaran sepuluh bulan, Peraturan Presiden MBG hingga saat ini belum resmi diterbitkan. Menurut catatan Kontan, perpres masih menunggu berbagai kajian, termasuk dari Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Selanjutnya: Kimia Farma (KAEF) Restrukturisasi Utang Rp 6,81 Triliun, Cermati Rekomendasi Saham
Menarik Dibaca: Promo Guardian 16-29 Oktober 2025, Tambah Uang Rp 1.000 Dapat 2 Listerine-Colgate
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News