kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.910.000   -13.000   -0,68%
  • USD/IDR 16.230   -112,00   -0,69%
  • IDX 7.214   47,18   0,66%
  • KOMPAS100 1.053   7,20   0,69%
  • LQ45 817   1,53   0,19%
  • ISSI 226   1,45   0,65%
  • IDX30 427   0,84   0,20%
  • IDXHIDIV20 504   -0,63   -0,12%
  • IDX80 118   0,18   0,16%
  • IDXV30 119   -0,23   -0,19%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,20%

Perpres Perlindungan Terhadap Jaksa Tidak Urgent dan Tidak Dibutuhkan


Jumat, 23 Mei 2025 / 15:03 WIB
Perpres Perlindungan Terhadap Jaksa Tidak Urgent dan Tidak Dibutuhkan
ILUSTRASI. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pertemuan dengan Mendes PDT Yandri Susanto di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (12/3/2025). Kedatangan Mendes PDT Yandri Susanto ke Kejagung tersebut untuk bekerja sama dalam pengawasan penggunaan dana desa agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh aparatur desa. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Spt.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara Terhadap Jaksa Dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia (Perpres 66/2025). Perpres ini diundangkan pada 21 Mei 2025.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak dibutuhkan. Dalam sistem presidensial, tanpa ada Perpres 66/2025, Presiden sesungguhnya dapat memerintahkan Jaksa Agung untuk memperkuat sistem keamanan internal yang dimiliki kejaksaan dan/atau dapat meminta kepolisian untuk terlibat dalam bantuan pengamanan. 

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur mengatakan, hingga saat ini belum ada realitas ancaman yang nyata terhadap keamanan nasional terkait dengan kondisi kejaksaan yang mengharuskan Presiden membuat perpres.

Kondisi kejaksaan masih dalam keadaan normal menangani kasus-kasus hukum yang ada dan tidak ada ancaman militer yang mengharuskan Presiden ataupun Panglima TNI mengerahkan militer (TNI) ke kejaksaan. 

"Dengan demikian Perpres 66/2025 tidak memiliki urgensi dan tidak proporsional dalam hal pelibatan TNI," ujar Isnur dalam keterangan pers, Jumat (23/5).

Baca Juga: Jaksa Agung ST Burhanuddin: Hasil Penelitian Presiden Prabowo, 30% APBN Itu Bocor

Koalisi memandang lahirnya Perpres tidak bisa dilepaskan dari masalah Surat Telegram Panglima/KASAD yang mengerahkan hampir enam ribu personil TNI ke Kejaksaan. Perpres 66/2025 adalah bentuk kamuflase hukum atas kesalahan Panglima yang melakukan pengerahan pasukan TNI ke Kejaksaan. 

Hal ini disebabkan karena Perpres 66/2025 lahir setelah diterbitkannya Telegram KASAD yang dipenuhi dengan banyak permasalahan. 

"Penerbitan Perpres 66/2025 Ini adalah model politik fait accompli yang sama sekali tidak sehat dan berdampak buruk bagi demokrasi," terang Isnur.

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, mengatakan bahwa seharusnya yang dilakukan oleh Presiden adalah mencabut surat telegram tersebut dan bukan malah membentuk Perpres 66/2025. Dalam konteks ini Presiden seolah-olah sedang membenarkan kesalahan Panglima TNI dengan jalan menerbitkan Perpres 66/2025.

Koalisi menilai, praktek kekuasaan dalam menjalankan hukum yang demikian akan berdampak buruk pada negara hukum dan demokrasi karena kesalahan hukum bukannya dikoreksi, tetapi justru dilegalisasi. 

Koalisi memandang, penerbitan Perpres 66/2025 membuka ruang kembalinya Dwifungsi TNI. Perpres 66/2025 membawa milter masuk jauh ke wilayah sipil yakni ke kejaksaan. 

Padahal kejaksaan merupakan aparat penegak hukum yang melaksanakan kewenangan penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.

Sedangkan TNI secara tegas dan jelas merupakan alat pertahanan negara yang diatur di dalam konstitusi. 

Kegagalan untuk memisahkan penegakan hukum (urusan dalam negeri) dan urusan pertahanan adalah langkah nyata membangkitkan Dwifungsi TNI itu sendiri.

Koalisi memandang, Perpres 66/2025 tidak menjadikan UU TNI maupun UU Polri sebagai rujukan pembentukan di dalamnya. Padahal substansi perpres banyak mengatur tentang pelibatan TNI dan Polri dalam pengamanan Kejaksaan. 

"Konsideran Perpres 66/2025 hanya mencantumkan Pasal 4 ayat (1) UUD NKRI 1945 sebagai dasar hukum pembentukan Perpres, sehingga Perpres ini sama sekali tidak menunjukkan kejelasan tentang pengerahan pasukan TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU TNI," jelas Usman.

Lebih lanjut Koalisi Masyarakat Sipil menilai Perpres 66/2025 sama sekali tidak menjelaskan secara jelas kategori OMSP yang dijadikan dasar keterlibatan TNI. Mengingat ketentuan Pasal 7 UU TNI hanya membatasi OMSP ke dalam 16 jenis. 

Baca Juga: Prabowo Panggil Jaksa Agung, Bahas Korupsi dan Perizinan Ilegal

Sedangkan melindungi tugas dan fungsi Kejaksaan tidak termasuk di dalam 16 jenis OMSP tersebut. Hal ini tentu menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuatan militer karena tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas tentang ruang gerak TNI itu sendiri. 

Koalisi menilai, Perpres 66/2025 tidak sesuai dengan ketentuan hukum, karena menempatkan TNI melampaui ketentuan yang diatur dalam undang-undang. 

Ini merujuk pada Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2025 bahwa “Yang dimaksud dengan “jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia” adalah jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia di bidang pidana militer”, sehingga keterlibatan TNI dalam tubuh Kejaksaan hanya terbatas pada bidang pidana militer dan bukan melebar hingga mencakup ranah pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan lainnya. 

"Kami menilai penerbitan Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak di butuhkan. Sekalipun presiden memiliki kewenangan membentuk Perpres, tetapi pembentukan Perpres tetap harus diletakkan dalam tata pembentukan perundang-undangan yang benar. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pembentukan Perpres 66/2025 yang tidak tunduk pada norma dan tatanan hukum yang benar dievaluasi dan ditinjau ulang kembali oleh Presiden dan DPR," tulis Koalisi Masyarakat Sipil.

Sebagai informasi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan antara lain, Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum, Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan pengamanan yang dilakukan oleh TNI tidak terkait dengan proses pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan dalam penegakan hukum.

Kejagung juga menjelaskan kewenangan untuk melakukan pengamanan tak hanya dimiliki oleh Polri. Menurutnya, TNI juga masih mempunyai kewenangan dalam melakukan pengamanan terhadap objek vital nasional dan tertuang dalam Pasal 7 UU TNI yang baru.

Baca Juga: Isu Jaksa Agung akan Diganti! Ini Respons ST Burhanuddin, Kejagung, dan Istana

Selanjutnya: Cara Menonaktifkan BPJS Kesehatan Peserta yang Telah Meninggal Dunia, Ini Syaratnya

Menarik Dibaca: Promo Superindo Hari Ini 23-25 Mei 2025, Daging Sengkel-Beras Merah Harga Spesial

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×