Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengubah beberapa ketentuan dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD).
Kebijakan ini, tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50/PMK.07/2020 tentang Perubahan Kedua atas 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa.
Adapun beberapa ketentuan yang diubah adalah dokumen persyaratan penyaluran dana desa tahap I dan tahap II, besaran nilai manfaat yang diberikan, serta jangka waktu penyaluran bansos.
Baca Juga: Aturan baru BLT dana desa dibuat untuk mempermudah penyaluran bantuan
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Fajar B. Hirawan menilai, perubahan ketentuan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan ketidakpastian kapan pandemi ini akan berakhir.
"Perpanjangan periode pemberian bantuan ini, juga dilakukan untuk menjaga stabilitas daya beli masyarakat yang terkena krisis sebagai dampak wabah Covid-19 ini," ujar Fajar kepada Kontan.co.id, Rabu (27/5).
Menurut Fajar, keputusan perpanjangan pemberian bantuan tersebut sudah sangat tepat. Namun demikian, tampaknya jangka waktu pemberian bansos yang hanya selama enam bulan saja tampaknya masih kurang ideal.
Apalagi jika sampai dengan akhir Juni nanti jumlah pasien yang terpapar Covid-19 belum juga menurun. Untuk itu, kata Fajar, idealnya pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memperpanjang bantuan sampai dengan bulan Desember 2020.
"Jika dalam periode Juli-September 2020 atau Juli-Desember 2020 besarannya hanya Rp 300.000, otomatis hal tersebut hanya cukup untuk mencakup pengeluaran konsumsi untuk makanan dari penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan yang menurut data BPS tahun 2019, berada di kisaran Rp 309.000- Rp 317.000," paparnya.
Baca Juga: Soal penurunan harga BBM, pemerintah pentingkan pengusaha ketimbang rakyat kecil
Berdasarkan hitungan Fajar, sejatinya di awal tiga bulan pertama akan lebih ideal bila bantuan uang tunai bagi masyarakat diberikan sebesar dua kali lipat dari total pengeluaran perkapita penduduk miskin di perkotaan atau perdesaan.
Apabila pengeluaran perkapita diasumsikan sebesar Rp 400.000, maka besaran bantuan di 3 bulan pertama bisa mencapai Rp 800.000 atau dua kali lipatnya. Nah, untuk perpanjangan di bulan selanjutnya, besaran bantuan setidaknya bisa mengkaver seluruh pengeluaran perkapita penduduk miskin, atau sebesar Rp 400.000.
Kemudian, di dalam aturan baru tersebut pemerintah juga menghapus sanksi kepada pemerintah desa (Pemdes) yang tidak melaksanakan pemberian BLT dari dana desa.
Hal tersebut berlaku, apabila Pemdes tidak dapat melaksanakan BLT Desa karena hasil musyawarah desa khusus (musdesus) menyatakan tidak terdapat calon BLT yang memenuhi kriteria pemberian bantuan di desa.
Baca Juga: Kemenkeu revisi aturan BLT dana desa, menjadi lebih sederhana dan besarannya naik
Fajar menjelaskan, dengan adanya aturan tersebut maka peran masyarakat menjadi penting. Unit pemerintah terkecil seperti Ketua RT atau Dusun seharusnya memiliki kewenangan paling besar dalam penentuan calon penerima BLT.
"Masyarakat pun berhak mendaftarkan dirinya jika dia memang berhak menerimanya. Ini dapat dilakukan dengan mekanisme self-registration atau self-reporting. Jadi pemerintah pusat dan daerah seharusnya bergantung pada laporan dari masyarakat tadi, istilahnya bottom-up," kata Fajar.
Ia mengatakan, selama ini Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) adalah sesuatu yang mungkin tidak pernah diupdate secara berkala. Maka dari itu, pemutakhiran data di tengah pandemi ini harus lebih dititikberatkan dari laporan komunitas masyarakat melalui self-reporting.
Fajar memberikan catatan, setidaknya ada empat poin penting yang bisa dilakukan pemerintah untuk memastikan pelaksanaan BLT bisa sesuai dan tepat sasaran. Pertama, keputusan dalam pengambilan kebijakan harus didasarkan atas fakta di lapangan dan sains.
Kedua, pemeirntah perlu melakukan pemutakhiran data BDT dan DTKS secarac berkala. Ketiga, good governance, termasuk transparansi dan akuntabilitas. Keempat, sinergi multistakeholders antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Baca Juga: Sebanyak 4,52 juta keluarga sudah terima BLT dana desa
"Poin keempat ini mungkin dapat menjadi fondasi terkait monitoring dan jaminan BLT bisa tepat sasaran atau tidak," tandasnya.
Sebagai informasi, melalui aturan baru ini pemerintah menambah besaran nominal BLT yang diberikan kepada masyarakat terdampak. Nilai yang diberikan dari sebelumnya sebesar Rp 1,8 juta per keluarga penerima manfaat (KPM), mengalami peningkatan menjadi Rp 2,7 juta/KPM.
Pemerintah juga memperpanjang jangka waktu pemberian BLT ini dari sebelumnya 3 bulan menjadi 6 bulan dengan penyaluran paling cepat dilakukan pada bulan April 2020. Namun, seiring dengan perpanjangan tersebut pemerintah juga memangkas jumlah penyaluran yang diterima setiap bulannya.
Pada tiga bulan pertama, setiap KPM akan menerima manfaat sebesar Rp 600.000/KPM/bulan, tetapi untuk tiga bulan berikutnya anggaran yang diterima hanya sebesar Rp 300.000/KPM/bulan.
Baca Juga: Kabar baik, alokasi BLT dana desa naik jadi Rp 2,7 juta per keluarga
Dengan penambahan tersebut, maka total anggaran untuk BLT-DD meningkat dari Rp 21,19 triliun menjadi Rp 31,79 triliun dari pagu APBN-Perpres 54/2020 sebesar Rp 71,2 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News