Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) diprediksi mundur dari jadwal semula. Alasannya adalah karena masih banyak perdebatan dalam pembahasan RUU tersebut.
"Target pengesahan 4 Maret 2014 sepertinya mundur. Tapi kita tetap targetkan selesai di tahun ini karena akan berlaku di 2015," kata Wakil Ketua Komisi II DPR, Arif Wibowo, saat dihubungi, Rabu (19/2/2014).
Arif menuturkan, mayoritas fraksi di DPR menyetujui pilkada serentak, termasuk Fraksi PDI Perjuangan. Akan tetapi, perdebatan langsung mencuat ketika masuk pada pembahasan yang sifatnya teknis dalam RUU Pilkada.
Ia menjelaskan, perdebatan muncul dalam pembahasan mengenai kondisi obyektif yang melatari lahirnya RUU Pilkada. Gagasan untuk menekan tingginya ongkos politik, dan memperbaiki mekanisme rekrutmen, serta untuk menciptakan pemilu yang kredibel dan akuntabel masih terus didalami.
Selanjutnya, kata Arif, perdebatan semakin sengit ketika pembahasan menyinggung kelembagaan partai yang koalisinya tidak permanen. Dalam hal ini, RUU Pilkada akan mendorong partai berkoalisi secara permanen karena merujuk pada kesamaan ideologi, dan menjauhkan dari koalisi transaksional seperti yang sering terjadi selama ini.
"Itu yang mau kita rumuskan dalam RUU Pilkada. Kita ingin memutuskannya secara cermat," ujar Arif.
Ia melanjutkan, perdebatan kembali tersulut ketika dibahas mengenai mekanisme pelantikan kepala daerah terpilih. Dengan digelarnya pilkada serentak, muncul usulan agar pelantikan kepala daerah tidak dilakukan di depan sidang paripurna DPRD.
Tak hanya itu, RUU Pilkada juga akan mengatur mekanisme pencalonan, pendaftaran, dan penetapan tiap calon kepala daerah. Pasalnya, selama ini waktu pencalonan, pendaftaran, dan penetapan calon kepala daerah selalu dilakukan dalam waktu yang berdekatan dengan waktu pemilihan. Ada usulan waktu tersebut diperpanjang agar masyarakat dapat menilai secara utuh dan obyektif.
"Mengenai paket dan tidak paket juga masih berdebat ramai. Problemnya kalau gubernur terjerat korupsi atau meninggal dunia apakah wakilnya itu bisa langsung menggantikan karena derajat legitimasinya berbeda," ujarnya. (Indra Akuntono)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News