kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   -909,31   -100.00%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengawal kursi-kursi tak bertuan di parlemen


Jumat, 03 Januari 2014 / 07:51 WIB
Mengawal kursi-kursi tak bertuan di parlemen
ILUSTRASI. Dapatkan bonus kuota 5 GB saat membeli pulsa XL di Tokopedia.


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Kesunyian gedung Dewan Perwakilan Rakyat semakin terasa pada pengujung tahun 2013. Menjelang tahun politik, hilir mudik anggota Dewan semakin sedikit ditemui. Sebaliknya, deretan kursi-kursi tak bertuan menjadi pandangan yang kian umum di parlemen saat ini. Yang terparah terjadi pada rapat-rapat komisi yang tak jarang hanya dihadiri kurang dari 10 orang anggota DPR.

Sebagai contoh, proses pengambilan keputusan untuk Perppu MK. Rapat pengambilan keputusan
sempat dua kali ditunda akibat minimnya anggota yang hadir di Komisi III DPR.  Pembatalan rapat terjadi juga di Komisi VIII DPR saat akan melakukan rapat dengar pendapat dengan Dirjen Bimas Kristen, Dirjen Bimas Katolik, Dirjen Bimas Hindu,dan Dirjen Bimas Buddha Kementerian
Agama pada Mei 2013 lalu.

Hampir sebagian besar rapat-rapat komisi terjadi hal serupa. Bahkan, sejumlah uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan di DPR seperti uji kepatutan dan kelayakan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komite Informasi Pusat (KIP), dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak diminati anggota Dewan.

Yang ironis, saat uji kepatutan dan kelayakan calon anggota LPSK pada 26 September 2013. Hanya ada dua orang anggota DPR yang hadir dan menguji para calon. Beberapa anggota sempat masuk ke ruangan, tetapi kemudian ke luar lagi dan memilih mengikuti keramaian di luar ruangan. Saat itu, istri pertama Ruhut, Anna Rudhiantiana Legawati, mendatangi Gedung DPR. Anna datang bersama anaknya untuk meminta agar DPR menolak rencana Ruhut yang akan diajukan menjadi Ketua Komisi III DPR menggantikan Gede Pasek Suardika.

Peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, minimnya kehadiran anggota DPR dalam uji kepatutan itu semakin menegaskan adanya dugaan politik transaksional yang terjadi di parlemen. Untuk fit and proper test yang lebih seksi dan ditengarai berkantung tebal, kata Lucius, anggota DPR berlomba-lomba hadir. Contohnya terjadi saat uji kepatutan dan kelayakan calon Dewan Gubernur Bank Indonesa, calon hakim agung, calon Kapolri, dan calon Panglima TNI.

“Tapi untuk komisi-komisi di luar pemerintah yang banyak diisi aktivis, atau orang-orang yang tak cukup modal dan hanya mengandalkan pada proses seleksi yang profesional, ya mereka tidak antusias,” katanya.

Kondisi ini, dinilai Lucius, sangat memprihatinkan. Pasalnya, DPR berperan penting meletakan orang-orang berkualitas di komisi-komisi di luar pemerintahan ini.

Lucius bahkan meragukan kualitas anggota DPR untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan. Dengan disiplin yang rendah, anggota DPR dinilai tidak pantas menilai orang lain.

Tanpa prestasi

Selain kritik atas kualitas uji kepatutan dan kelayakan, kinerja DPR lainnya yang juga merosot akibat minimnya tingkat kehadiran yaitu terkait proses legislasi. Pada tahun 2013 ini, DPR hanya mampu menyelesaikan 16 undang-undang dari 75 undang-undang yang ditargetkan. Melihat ke belakang, nyatanya tak sekali pun DPR bisa mencapai target program legislasi nasional selama empat tahun bekerja.

Berdasarkan catatatan Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK) Indonesia, pada tahun 2010, DPR hanya mampu mengesahkan 16 Undang-undang, tahun 2011 sebanyak 24 undang-undang, dan tahun 2012 sebanyak 30 undang-undang. Sebagian besar undang-undang yang dihasilkan pun adalah undang-undang yang bersifat kumulatif terbuka seperti UU APBN dan UU Daerah Otonomi Baru.

Menurut Lucius, banyak undang-undang yang terhambat akibat masalah kehadiran. Contohnya, saat Komisi II yang seharusnya menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang- Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) melakukan pembatalan karena empat unsur pimpinan tidak datang pada bulan Mei 2013. Alhasil, sampai sekarang, RUU Pilkada belum juga rampung.

“Tahun ini, tragetnya 66 RUU. Ini hanya gagah-gagahan saja untuk menunjukkan bahwa DPR masih bekerja, padahal target ini sudah pasti tidak akan tercapai dengan kinerja seperti itu,” kata Lucius.

Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran, Uchok Sky Khadafi menyinggung banyaknya uang negara yang harus keluar untuk gaji DPR sebesari Rp 554,9 miliar.

“Artinya, kemahalan anggaran untuk anggota DPR dibarengi dengan kinerja yang maksimal di parlemen untuk berjuang demi kepentingan konstituen mereka,” kata Uchok.

Menurutnya, kehadiran anggota dewan dalam sidang sangat penting untuk menguji argumentasi eksekutif atau mengkritik banyaknya kebijakan Pemerintah yg tidak berpihak kepada rakyat.

“Kalau tidak hadir, bagimana bisa melakukan kritik secara langsung kepada Pemerintah, dan memberikan masukan kepada Pemerintah?” ucap Uchok.

Kinerja BK disorot

Harapan utama publik sebenarnya bertumpu pada Badan Kehormatan DPR. Alat kelengkapan DPR itu bertugas untuk menjaga etika para anggota dewan dan menegakkan disiplin. Namun, nyatanya, kinerja BK jauh dari memuaskan. Selama empat tahun bekerja, tercatat hanya dua anggota DPR yang dikenai sanksi BK akibat masalah kehadiran. Kedua anggota yang dijatuhi sanksi yakni politisi Partai Gerindra Widjono Hardjanto dan politisi PDI Perjuangan Sukur Nababan. Widjono dijatuhi sanksi pemecatan, sedangkan Sukur dijatuhi sanksi teguran keras.

Lucius Karus mengaku kecewa dengan kinerja BK. Dia menilai anggota-anggota BK yang ada tidak memiliki visi untuk membenahi perilaku anggota dewan. Anggota BK, lanjutnya, lebih cenderung melindungi sesama anggota dari fraksi masing-masing.

“Selama 2009-2013 ini, kerja BK sangat normatif. Tidak ada terobosan yang dibuat yang bisa membuat orang berharap ada satu badan yang bisa mengembalikan kepercayaan pulbik kepada DPR. Mereka lebih sibuk melindungi teman-teman satu fraksinya. BK pun menjadi lembaga tanpa
tenaga,” ujar Lucius.

Jika saja BK ingin menjadikan alat kelengkapan sebagai pintu masuk perbaikan, kata Lucius, maka BK seharusnya berinisiatif mengeluarkan rapor absensi anggota dewan kepada publik. Hal ini diperlukan agar anggota yang malas bisa dihukum publik dan yang rajin bisa diapresiasi.

“Karena BK tidak berani akhirnya publik menyamakan semua anggota DPR dengan predikat malas sekaipun ada sebagian mungkin yang sangat disiplin,” katanya.

Ketua BK Trimedya Panjaitan berdalih pihaknya tak bisa berbuat banyak lantaran dibatasi oleh Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dia menuturkan di undang-undang itu, seorang anggota dewan baru bisa dikenai sanksi jika sudah enam kali berturut-turut tidak hadir dalam rapat.

Saat ini, ucap Trimedya, BK tengah memperjuangkan revisi UU MD3. Salah satu klausul yang diperjuangkan adalah frekuensi ketidakhadiran anggota DPR yang bisa ditindak dipersingkat menjadi 3-4 kali tak hadir dalam rapat.

“Yang ada sekarang, mereka tidak hadir, tapi nanti pakai ada alasan izin atau sakit yang ditandatangani fraksi. Kalau begini, tidak bisa ditindak,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Jangan pilih pemalas

Lucius menyatakan persoalan tingkat kehadiran ini juga menjadi tanggung jawab partai politik. Fraksi, sebagai kepanjangan, partai di DPR tidak pernah memberikan sanksi tegas kepada anggotanya. Namun, Lucius mengaku pesimis akan ada dobrakan yang dilakukan partai atau
pun DPR dalam menindak anggotanya.

Hal senada juga diutarakan Ketua DPR Marzuki Alie. Marzuki terkesan frustasi dengan perilaku anggota DPR. “Memang sudah segala cara dipakai, salah satunya finger print. Tapi itu kan hanya di paripurna. Sementara yang krusial rapat di komisi, panja, pansus, tapi fraksi-fraksi tidak mau pakai finger print,” ucap Marzuki.

Menurut Marzuki, fraksi di DPR juga berperan menciptakan anggota dewan yang pemalas. Fraksi, katanya, lebih memberikan waktu anggota DPR untuk turun ke konstituennya meski di hari efektif DPR.

“Kerja di konstituen seolah lebih penting daripada berada di DPR. Tahun 2014
akan semakin sering turun ke konstituen dan lupa kerja di DPR,” ujarnya.

Lucius berpendapat, satu-satunya cara yang memperbaiki kinerja DPR adalah membangkitkan kesadaran publik. Dorongan publik dianggap lebih mujarab dari sanksi BK sekali pun. Dorongan publik ini, kata Lucius, bisa dilakukan dengan peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam
memberikan sosialisasi tentang jejak rekam para calon anggota legislatif.

“Anggota DPR yang maju lagi mencapai 85 persen. Publik harus sadar, jangan pilih mereka yang pemalas dalam Pemilu 2014. Teliti jejak rekamnya,” kata Lucius. (Sabrina Asril)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×