kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengamat pajak: Pungutan pajak transaksi elektronik akan mirip cukai


Senin, 21 Desember 2020 / 11:52 WIB
Pengamat pajak: Pungutan pajak transaksi elektronik akan mirip cukai
ILUSTRASI. Pajak ekonomi digital adalah pengenaan pajak terhadap kegiatan perdagangan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020, pemerintah mempunyai kuasa untuk memungut pajak transaksi elektronik atas perusahaan digital asing. 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan kebijakan fiskal tersebut merupakan pajak baru karena bentuknya bukan Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN), akan tetapi mirip cukai. 

Menurut Prianto, pajak ekonomi digital, dalam UU 2/2020, didefinisikan sebagai pengenaan pajak terhadap kegiatan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Secara sederhana, kegiatan tersebut oleh undang-undang disingkat PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik). Untuk pengenaan perpajakannya sendiri, ada dua pilihan. 

Pertama, PMSE ditetapkan sebagai objek PPh. Jika PMSE dilakukan oleh subjek pajak luar negeri (SPLN), berdasarkan ketentuan kehadiran ekonomi signifikan atau significant economic presence (SEP). Dus, SPLN tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak badan berupa Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang harus membayar PPh atas laba usaha dari PMSE.

Baca Juga: Penerimaan PPN perdagangan melalui sistem elektronik telah mencapai Rp 566 miliar

Ketentuan SEP ini merupakan konsep baru dalam UU pajak di Indonesia sebagai konsekuensi dari era ekonomi digital. Selain konsep SEP, untuk memajaki penghasilan yang bersumber dari Indonesia, ada konsep kehadiran fisik atau physical presence (PP). 

Saat ini, konsep PP diterapkan oleh UU PPh dan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty antara Indonesia dengan negara-negara lain. 

Nah, masalahnya saat ini konsep PP sebagai dasar memajaki penghasilan SPLN yang bersumber dari Indonesia menjadi kurang relevan. Dengan PMSE, SPLN tidak memerlukan kehadiran fisik di suatu negara, termasuk Indonesia.

Untuk memajaki PMSE dari SPLN yang negaranya punya P3B dengan Indonesia, rujukan aturannya adalah P3B. Kedudukan P3B ini lebih spesifik dari UU PPh sehingga P3B harus diutamakan. 

“Karena P3B hanya mengatur konsep PP untuk memajaki PMSE dari SPLN, Indonesia harus merevisi seluruh P3B dulu agar konsep tersebut dapat diganti dengan SEP”, kata Priatno dalam keterangan resminya yang dihimpun Kontan.co.id, Senin (21/12).

Baca Juga: Sri Mulyani sebut pajak harus mengikuti perkembangan teknologi



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×