Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah berbagai tantangan global dan domestik, ekonomi Indonesia tetap tumbuh 5,03% pada 2024. Angka ini sedikit melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,05%, tetapi tetap menunjukkan resiliensi ekonomi nasional.
Namun, ada satu hal yang menjadi sorotan, yakni pertumbuhan penerimaan pajak yang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Tercatat, rasio pajak alias tax ratio Indonesia pada tahun 2022 tercatat sebesar 10,08% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Stagnan di 5%, Mungkinkah Tumbuh Lebih Tinggi?
Angka ini diperoleh dari total penerimaan perpajakan yang mencapai Rp 2.232,7 triliun dibandingkan dengan PDB nominal yang sebesar Rp 22.139 triliun.
Sayangnya, angka tax ratio pada 2024 ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencapai 10,31% PDB.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai, penurunan tax ratio in mencerminkan kurang optimalnya penerimaan pajak pada tahun 2024.
Ia mencatat bahwa pertumbuhan penerimaan pajak hanya mencapai 3,5% secara year-on-year (YoY), jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2023 yang tumbuh 8,8%.
Baca Juga: PPh Badan Kontraksi 26,3%, Namun Penerimaan Pajak Lain Tumbuh Positif
Kondisi ini disebaban oleh banyak hal, mulai dari kinerja pajak dari korporasi yang melambat, hingga pajak yang berasal dari konsumsi turut menurun.
"Terutama di tiga kuartal pertama. Penerimaan pajak baik dari pajak penghasilan (PPh) Badan dan pajak pertambahan nilai (PPN) baru menunjukkan pemulihan baru di kuartal terakhir," ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Kamis (6/2).
Meski penerimaan pajak melemah, ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,03% pada 2024, hanya sedikit lebih rendah dibandingkan 2023 yang mencapai 5,05%.
Namun, Wahyu menyoroti bahwa banyak aktivitas ekonomi dalam PDB tidak berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak atau masuk dalam kategori hard to tax.
Salah satu contohnya adalah konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) yang tumbuh signifikan sebesar 12,48%.
Namun, kontribusinya terhadap PDB hanya 0,16%, sehingga dampaknya terhadap penerimaan pajak sangat kecil.
Baca Juga: Kemenkeu Catat Penerimaan Pajak Karyawan Tumbuh Meski Angka PHK Tinggi
Selain itu, konsumsi pemerintah juga meningkat signifikan, tumbuh 6,61% dibandingkan tahun 2023 yang hanya 2,95%.
Sementara, konsumsi rumah tangga yang seharusnya berkontribusi besar terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) stagnan di angka 4,94%.
"Padahal efeknya terhadap penerimaan pajak besar karena bisa mendorong penerimaan PPN," katanya.
Untuk mengatasi stagnasi penerimaan pajak, Wahyu menilai pemerintah harus mencari sumber pajak baru. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memperkuat reformasi perpajakan, termasuk penyederhanaan administrasi pajak.
"Saya berharap keberadaan Coretax bisa menjadi solusi. Sayangnya, di awal pemberlakuan masih terdapat beberapa kendala yang perlu penyesuaian," imbuh Wahyu.
Baca Juga: Ditjen Pajak Catat Pajak Atas Usaha Ekonomi Digital Rp 26,75 triliun per Juli 2024
Selain itu, Wahyu juga mengusulkan agar pemerintah mulai mempertimbangkan pajak atas harta kekayaan (wealth tax) dan pajak warisan. Kedua instrumen pajak ini dapat memperluas basis pajak yang selama ini masih terbatas.
Selain mencari sumber pajak baru, pemerintah juga harus memperkuat kepastian hukum perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
"Terakhir, lakukan pengawasan berbasiskan ketentuan yang transparan," pungkasnya.
Selanjutnya: Allianz Life Sediakan Asuransi Jiwa Unitlink untuk Nasabah Premier HSBC Indonesia
Menarik Dibaca: 9 Nutrisi Penting untuk Tumbuh Kembang Anak, Ini Daftar Makanannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News