Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir cenderung stagnan di level 5%.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,03%.
Angka ini masih jauh dari target ambisius Presiden Prabowo Subianto yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Sumber Daya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Said Abdullah, pertumbuhan ekonomi tinggi bukan hal yang mustahil, tetapi memerlukan berbagai perbaikan di sektor-sektor strategis.
Baca Juga: Indef: Pengurangan Belanja Infrastruktur Bisa Hambat Investor yang Masuk
"Tentu saja obsesi beliau sangat mungkin tercapai, namun harus disertai dengan sejumlah perbaikan di sektor strategis," ujar Said dalam keterangan resminya, Kamis (6/2).
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya tinggi, tetapi juga inklusif dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sejak era Orde Baru hingga kini, kebijakan ekonomi Indonesia banyak mengadopsi model trickle down effect yang diperkenalkan oleh Albert Hirschman dan diterapkan di Amerika Serikat oleh Presiden Ronald Reagan.
Model ini berasumsi bahwa insentif bagi kelompok ekonomi atas akan berdampak positif bagi kelas menengah dan bawah melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya beli.
Namun, data menunjukkan bahwa pendekatan ini memperlebar kesenjangan ekonomi. Rasio gini Indonesia sejak akhir Orde Baru berada di atas 0,33, bahkan mencapai 0,437 pada 2013.
Dalam satu dekade terakhir, rasio gini masih berkisar antara 0,38 hingga 0,40, menandakan bahwa ketimpangan sosial tetap tinggi.
"Pilihan kebijakan seperti ini menyisakan masalah, sebab laju pertumbuhan ekonomi kelas atas yang mendapat insentif jauh lebih besar dibandingkan golongan menengah bawah. Menengah bawah hanya menerima rembesan ekonomi yang terbatas," katanya.
Analisis dari ekonom Thomas Piketty juga memperkuat temuan ini, bahwa ketimpangan terjadi ketika kekayaan pribadi tumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan nasional.
Data Credit Suisse tahun 2022 mencatat bahwa 66,8% penduduk dewasa Indonesia memiliki kekayaan di bawah US$ 10.000, sementara 2% penduduk memiliki kekayaan US$ 100.000 – 1 juta, dan hanya 0,1% yang memiliki lebih dari US$ 1 juta. Rasio gini kekayaan pun mencapai 0,78, menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.
Baca Juga: Begini Strategi Pemerintah Dorong Pertumbuhan Ekonomi di Kuartal I-2025
Kendati begitu, Said memandang bahwa pemerintahan Prabowo telah menunjukkan komitmen untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah efisiensi belanja negara melalui instruksi presiden. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diharapkan lebih fokus pada sektor strategis seperti perbaikan gizi anak, kesehatan, pendidikan, serta kemandirian pangan dan energi.
Said menyebut, program Makan Bergizi Gratis (MBG) diharapkan menjadi salah satu katalisator pertumbuhan inklusif. Program ini tidak hanya bertujuan meningkatkan gizi anak-anak, tetapi juga melibatkan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) sebagai pemasok makanan, yang dapat menggerakkan ekonomi rakyat.
Dengan lebih dari 65 juta UMK di Indonesia, integrasi mereka dalam program MBG bisa mendorong peningkatan daya beli masyarakat kelas menengah bawah yang menurun sejak pandemi.
Selain itu, program ini juga berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani dan peternak lokal melalui peningkatan permintaan bahan pangan.
Pemerintah bisa mengoptimalkan subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi pelaku usaha di sektor pangan yang mendukung program MBG, sekaligus memperkuat kemandirian pangan nasional.
"Program MBG juga bisa menjaei pijakan awal kita memulai kemandirian pangan nasional," kata Said.
Baca Juga: Efisiensi Anggaran Jadi Tantangan Laju Pertumbuhan Ekonomi 2025
Lebih jauh, jika program ini berhasil, beban subsidi program bantuan sosial bisa berkurang, mengingat selama satu dekade terakhir anggaran bansos terus membengkak tanpa memberikan dampak signifikan pada pemberdayaan masyarakat.
Selain optimalisasi APBN, pemerintah juga mengonsolidasikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui pembentukan super holding Danantara.
Danantara diharapkan dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional dengan kapitalisasi yang besar untuk mengelola investasi strategis.
Dua kata kunci yang menjadi fokus Danantara adalah investasi dan industrialisasi. Menurutnya, jika dikelola dengan baik, langkah ini bisa memperkuat hilirisasi industri berbasis sumber daya alam dan mendorong Indonesia masuk ke rantai pasok global.
Dengan sinergi antara APBN dan BUMN yang terorganisasi dengan baik, pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 5% bukan hanya sekadar wacana.
Lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi yang inklusif bisa tercapai dengan memastikan bahwa para pelaku ekonomi kecil hingga menengah turut menikmati manfaatnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News