Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
Anggota Komisi XI Mukhammad Misbakhun menilai, penerimaan pajak tahun ini pasti shortfall, sekalipun Covid-19 tidak pernah ada. Menurutnya shortfall penerimaan pajak sudah menjadi tren yang dipertahankan oleh pemerintah sejak 2009.
Misbakhun menilai, pemerintah tidak bisa menangkap pergeseran subjek dan objek pajak yang berevolusi seiring dengan perkembangan zaman. Menurutnya, Kemenkeu tidak mengoptimalkan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Meski otoritas pajak sudah menetapkan dua puluh delapan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) untuk menarik, memungut, dan menyetor pajak pertambahan nilai (PPN), langkah ini dirasa tidak cukup.
Anggota Fraksi Partai Golkar itu menyampaikan, seharusnya pemerintah berani menarik pajak penghasilan (PPh) atas perusahaan digital asing. Hal ini mempertimbangkan besarnya manfaat ekonomi yang telah dihasilkan dari masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Pekan depan, rupiah masih menguji level Rp 15.000 per dolar AS
Kata Misbakhun, pemerintah tidak perlu menunggu konsensus terkait pajak penghasilan dari the Organization for Economic Co-opration and Development (OECD) atau G20. “Kalau situasi saat pandemi seperti ini, yang diutamakan itu agenda kepentingan kita, bukan agenda bersama,” kata Misbakhun kepada Kontan.co.id, Minggu (20/9).
Kendala ekonomi, kebijakan, dan administrasi
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengemukakan setidaknya ada tiga kendala penting dalam upaya mencapai target penerimaan pajak 2020 yaitu situasi ekonomi, kebijakan, dan administrasi.
Bawono menilai tahun ini kondisi ekonomi merupakan sentimen paling krusial dalam menentukan realisasi penerimaan pajak. Dampak ekonomi akibat pandemi tercermin dari harga komoditas yang melemah, sehingga menyebabkan kinerja pajak sektor migas dan PPh Badan sektor pertambangan. Kemudian, sepanjang tahun ini aktivitas ekonomi menurun, hal ini berimplikasi terhadap PPN khususnya dalam negeri.
“Sudah pasti bahwa tahun ini memang ruang gerak optimalisasi penerimaan pajak sulit untuk dilakukan. Perlambatan ekonomi secara natural mengurangi kontribusi pajak,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Minggu (20/9).
Baca Juga: Saat IHSG merah membara, ini yang dilakukan Lo Kheng Hong dan Eyang Ratman
Dari sisi kebijakan perpajakan,sudah pasti pemerintah memilih agar tetap ekspansif. Pajak butuh direlaksasi agar perekonomian tidak terkontraksi terlalu dalam. Sementara administrasi wajib pajak beradaptasi ke cara digital, sejalan dengan pembatasan sosial.
Sampai dengan akhir tahun 2020, DDTC memprediksi penerimaan pajak akan terkontraksi sebesar minus 10% hingga minus 14% terhadap penerimaan 2019. Artinya, shortfall penerimaan pajak bisa mencapai Rp 47,95 triliun dari target yang dicantumkan di Perpres 72/2020. “Namun demikian, besar dugaan bahwa shortfall bisa saja membesar mengingat belum kuatnya tanda-tanda pemulihan ekonomi,” kata Bawono.
Selanjutnya: Pandemi Covid-19 percepat proses digital governance di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News