Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Selanjutnya, lifting minyak mentah Indonesia hanya mencapai 755.000 barel per hari atau masih minim bila dibandingkan target APBN di 775.000 barel per hari. Kemudian, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat di level Rp 14.197 per dolar AS, sementara outlook 2019 senilai Rp 15.000 per dolar AS.
Tidak hanya menyoal PPh, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pun dalam tren penurunan. Padahal di periode akhir tahun biasanya PPN dapat membantu realisasi penerimaan pajak karena pelunasan pembayaran dan konsumsi yang menguat di musim pengujung tahun.
Akan tetapi, semua itu berjalan tidak sesuai harapan di tengah perlambatan ekonomi serta restitusi pajak yang masih tebal.
Baca Juga: Kadin apresiasi pemberlakuan de minimis kiriman barang
Realisasi restitusi pajak sepangang Januari-November 2019 sebanyak Rp 139 triliun atau tumbuh 22,3% yoy. Adapun rincian restitusi pajak berasal dari pemeriksaan sebesar Rp 85 triliun, upaya hukum lewat keputusan pengadilan Rp 23 triliun, dan restitusi yang dipercepat sebesar Rp 31 triliun.
Direktur Jenderal Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, secara umum restitusi pajak sampai dengan akhir November 2019 mulai berjalan normal. Beda dengan pada semester I-2019 lalu, saat itu restitusi pajak tumbuh hingga 40% yoy.
Suryo menyampaikan dampak restitusi pajak bisa dilihat dari realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPNDN) yang sampai akhir November 2019 turun 1,76% yoy menjadi Rp 271,51 triliun.
Baca Juga: Jadwal operasional bank saat libur Natal dan Tahun Baru, perlu disimak
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan pekan depan efektif hari kerja tinggal satu hari. Sehingga mustahil bila penerimaan pajak bisa bertambah Rp 300 triliun atau bahkan masih sulit mendekati target penerimaan pajak tahun lalu.
Adapun pemerintah masih optimistis shortfall pajak berada di kisaran Rp 140 triliun-Rp 200 triliun. Sementara proyeksi Prastowo level terendah shortfall pajak tahun ini sebesar Rp 236,7 triliun. “Perencanaan tidak kredibel, kalau meleset lebih dari Rp 100 triliun pada outlook namanya bukan shortfall lagi, tapi super shortfall,” kata Prastowo kepada Kontan.co.id, Jumat (27/12).