kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45895,55   2,12   0.24%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Peneliti Indef: Jangan salahkan Covid-19 karena penerimaan negara tidak tercapai


Minggu, 04 Juli 2021 / 22:01 WIB
Peneliti Indef: Jangan salahkan Covid-19 karena penerimaan negara tidak tercapai
ILUSTRASI. Seorang wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP)


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Abdul Manaf Pulungan, peneliti Institute for Development on Economics and Finance (Indef) menyampaikan jangan menyalahkan pandemi Covid-19 terhadap penerimaan negara yang tidak dapat dicapai.

Alasannya, jika melihat data-data sebelumnya penerimaan perpajakan selalu meleset dari target. Bahkan sering kali terjadi kecenderungan peningkatan dari penerimaan pajak tahun ke tahun.

Artinya, persoalannya bukan karena Covid-19 tetapi karena masalah fundametal di penerimaan pajak itu sendiri. Abdul melihat terjadi gap antara pendapatan dan belanja negara yang semakin luas di tahun sebelumnya.

Baca Juga: Faisal Basri sebut kenaikan pajak utamanya untuk bayar bunga utang

“Di 2015 ada kesalahan prediksi sebetulnya. Karena pada saat itu pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sangat optimis bahwa ekonomi kita akan tumbuh 7%, dan target-target yang ditentukan pun sebenarnya jauh dari sejarah atau  data-data historisnya. Bahkan pada saat itu pertumuhan ekonomi ditargetkan double digit. Ini sangat aneh,” ujar Abdul dalam diskusi virtual, Minggu (4/7).

Abdul mengatakan, karena target yang diusung pemerintah terlalu tinggi, namun realisasinya jomplang di 2015. Hal ini akan menjadi penentuan target-target penerimaan pajak berikutnya.

Sementara itu, belanja negara meningkat karena pemerintah sangat optimistis bahwa bisa mencapai target pertumbuhan 7%.

Padahal, kata Abdul, ketika penerimaan negara tidak tercapai tentu akan menyebabkan belanja negara yang tertunda. Meski di hemat pun akan tetap meninggalkan utang yang sangat signifikan.

Siklus belanja negara dari tahun ke tahun dilihat dari 2015-2014 terdapat periode oil crisis dan tapering off, pada 2018 ada peningkatan karena kenaikan harga komoditas, pada 2019 ada penurunan karena adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang akhirnya menyebabkan harga komoditas turun.

Sedangkan pada 2020 terlihat bagaimana terjadi gap antara pertumbuhan belanja negara dan pertumbuhan pendapatan negara. Belanjanya tumbuh 18% sementara pendapatannya turun 13%.

Baca Juga: Sebelum kerek PPN, pemerintah diminta bereskan kemiskinan dan tindak korupsi

“Dari pemaparan tersebut pandemi Covid-19 memang mempengaruhi penerimaan negara namun tidak bisa disalahkan juga. Karena dari sejarahnya pun pendapatan negara kita selalu tidak mampu mengejar belanja negara,” jelas Abdul.

Abdul bilang, jika melihat shortfall penerimaan pajak pada 2015 hampir Rp. 150 triliun, 2016 di atas Rp. 250 triliun, dan 2017 hampir Rp. 150 triliun, 2018 Rp. 100 triliun, 2019 hampir Rp. 250 triliun, dan 2020 hampir Rp. 350 triliun. Sehingga fakta tersebut menggambarkan ada permasalahan yang signifikan di penerimaan negara.

“Ini sangat berat, satu sisi pemerintah ingin mengejar pertumbuhan lewat belanja negara yang terus meningkat, sementara di sisi penerimaannya tidak bisa dikejar. Jadi jangan sampai gara-gara ini selalu beralasan atau mengambil langkah dengan penarikan utang,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×