kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom: Jaga defisit fiskal, kenaikan subsidi energi tak masalah


Selasa, 06 Maret 2018 / 20:00 WIB
Ekonom: Jaga defisit fiskal, kenaikan subsidi energi tak masalah
ILUSTRASI. BBM Premium di SPBU Pertamina


Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana kenaikan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik dinilai tidak akan ganggu ekonomi Indonesia. Ekonom melihat, asal defisit fiskal masih bisa dikendalikan dibawah 3% maka tidak ada alasan untuk khawatir terhadap kondisi APBN.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan perubahan besaran subsidi energi pada APBN tidak akan berpengaruh besar pada potensi pembengkakan defisit anggaran. "Kalaupun ada subsidi (tambahan), defisit anggaran diperkirakan masih aman di 2,19%-2,5% dari PDB itu angka yang masih aman," jelas Josua kepada KONTAN, Selasa (6/3).

Josua menambahkan, asal defisit tidak mencapai 3%, maka DPR tidak akan melakukan impeachment alias pemakzulan pada presiden. Apalagi langkah ini merupakan upaya pemerintah untuk meringankan beban Pertamina dan PLN dihadapan pada kenaikan harga minyak dunia.

Josua juga meyakini Menteri Keuangan Sri Mulyani selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini telah menerapkan strategi fiskal yang sangat kuat.

Kenaikan harga minyak dunia yang sudah menyentuh level US$ 60 per barel utamanya disebabkan oleh pemangkasan produksi negara anggota OPEC yang telah memasuki tahun kedua. Kondisi ini menciptakan keterbatasan suplai di tengah tingginya kebutuhan global dan perbaikan ekonomi dunia.

Menurut Josua, meski Indonesia adalah negara yang memproduksi minyak mentah, tapi kenaikan harga komoditas ini belum mampu menopang penguatan rupiah secara signifikan. Pasalnya, kondisi transaksi berjalan Indonesia masih defisit yang menandakan pengaruh rupiah masih didominasi oleh tekanan dollar AS.

Sedangkan mengenai potensi perubahan rating Indonesia oleh lembaga pemeringkat Internasional, Josua yakin Indonesia tetap dalam koridor sehingga bakal menerima apresiasi. "Concern lembaga pemeringkat adalah belanja pemerintah dan belanja infrastruktur kita masih besar, selain itu perubahan ICP ini merespon kenaikan ekonomi dunia, jadi tidak masalah," jelas Josua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×